Friday, June 22, 2018

Uma – Putu Fajar Arcana

Uma

 
Pohon yang kau pahat di dinding luluh dalam kabut.
Seorang jejaka atau gembala tua
yang menahanmu di tepi hutan cemara.
Angin tak jua berkabar tentang risau langit senja. Dan para dewa
mengintipmu dari celah dedaunan. Mungkin mereka sangsi
tentang petaka
tentang kutuk yang kau derita.
Kau tahu air susu lembu itu, hanya tipu
gerutu pilu seorang pangeran kahyangan.
Tapi cemar telah ditebar. Pantang menjilat sabda
yang bagai kilat menyambar, menghanguskan pucuk daun.
Jadi pergi, pergilah sejauh hutan.
Seorang malaikat muda menunggumu
di balik rimbun cahaya. Dan jika mukaku terbakar
karena api dalam darahmu, sebaiknya tak usah kembali.
Sebab surga tak seperti diceritakan dalam kitab.
Penuh kutuk dan sabda keji para pangeran tua.
Uma, pohon yang kau pahat di dinding leleh dalam terik.
Seorang dewa atau gembala tua yang mengutukmu.
Pasrahkan pada angin agar senja memerah
dan mengantar mataharimu ke balik malam.
2008

Catatan Harian Pekerja Borongan – Yopi Setia Umbara

 Catatan Harian Pekerja Borongan


tak ada hari libur. bahkan di hari minggu
akal kami adalah tenaga. tenaga akal kami
cukup kasih nasi. kerja sungguh-sungguh
sebab keringat punya harga. daripada darah
sepanjang hari. tubuh kami terus basah
tak ada waktu tidur. selain menutup mata
sekejap melupakan kerja. lalu siap-siap
kembali menjadi ujung jari pembangunan

(Catatan-Catatan Hal. 32) – Seno Gumira Ajidarma

(Catatan-Catatan Hal. 32)

 
kota adalah asap, sayangku
ia mungkin juga terali baja
atau ini atau itu: kita hanya sampai pada kemungkinan

ya, bintang malam terlontar, mati menari
bunyi air siapa, bunyi ratap siapa
— petualang-petualang hitam

kota ini, kota tak tampak
tak banyak yang menjadi jelas

(meski kau tak tahu, senja dan senja jadi milikmu
mungkin duka atas pundakku
mungkin suka atas pundakku
tak tahu juga,
tapi senja bukan punya siapa-siapa)

kota adalah sampah. mimpiku
nasib seolah tak terbagi
            matahari demi matahari, bulan demi bulan
dan di lorong-lorong, banyak bayi tergeletak, berak

meski tak baik kita berkhayal
aku telah jadi bermacam alat (tak pernah milikmu)
ini juga cuma satu hal, kenapa semua tak pernah jelas

kota adalah kabut, sampah dan mimpi
nyanyian cahaya dan
takdir celaka



Jakarta 1977

Diksi Para Pendendam – Badruddin Emce

Diksi Para Pendendam

 
Tangan untuk melupakan nyaris tak punya.
Kami hanya punya tangan untuk mengingat.
Tangan ini, tanpa menunggu perintah
rasa lapar,
mengais-ngais di antara garis:

Namamu, dengan huruf legam kayu arang,
terus merambah sisa-sisa pohon di hutan.

Tempat kelahiranmu dahulu berjalinan
kara-cincau,
kini bertegakan tiang kemarau.

Kau tahu, di desamu ribuan sumur digali
hanya untuk memahamimu?

Tanggal lahirmu adalah hari sial orang-orang
yang mengiramu malaikat
atau jalan cepat menuju hakekat.

Agamamu telah mendorong kami
saling mencurigai.

Saling melarang berbuat baik
dan bersungguh-sungguh.

Pendidikanmu membuat kami harus belajar
lebih keras,
hanya untuk mengejar tempat teratas.

Pekerjaanmu sungguh membuat kami
harus mengulang yang tak perlu:

Buku-buku yang kami cetak
ternyata tak pantas dibaca anak-anak.

Alamatmu membuat kami kesasar
dan hari ini kami masih terus bertengkar
Bagaimana bisa keluar dari belukar.

Nomor ponselmu mendorong kami
berselingkuh denganmu
hingga kehabisan gairah untuk wujudkan yang nyata.

Hobimu menjadi anak-anak.

Hanya para pendendam tega menyalahkanmu,
lalu menangkapmu, memenjarakanmu
seumur puisi.

Sebuah kata yang tak pernah tepat
di baris manapun
telah memaksa kami untuk memilih
dan berhimpun.


2007

Thursday, June 21, 2018

Jembatan – Sutardji Calzoum Bachri


Jembatan



Sedalam-dalam sajak takkan mampu menampung
air mata bangsa. Kata-kata telah lama terperang-
kap dalam basa-basi dalam teduh pekewuh dalam
Isyarat dan kilah tanpa makna.
     Maka aku pun pergi menatap pada wajah
orang berjuta.
      Wajah orang tergusur
      Wajah yang ditilang malang
      Wajah legam para pemulung yang memungut
remah-remah pembangunan
      Wajah yang hanya mampu menjadi sekedar
penonton etalase indah di berbagai plaza.
      Wajah yang diam-diam menjerit melengking
melolong dan mengucap :
            tanah air kita satu
            bangsa kita satu
            bahasa kita satu
            bendera kita satu
       Tapi wahai saudara satu bendera, kenapa
kini ada sesuatu yang terasa jauh-beda diantara kita ?
      Sementara jalan-jalan mekar di mana-mana
menghubungkan kota-kota, jembatan-jembatan
timbuh kokoh merentangi semua sungai dan lembah yang
ada, tapi siapakah yang akan mampu menjembatani
jurang di antara kita ?
      Di lembah – lembah kusam pada pucuk tulang kersang
dan otot linu mengerang mereka pacangkan koyak-
moyak bendera hati dipijak ketidakpedulian pada saudara.
Gerimis tak mampu mengucap kibaran-
nya. Lalu tanpa tangis mereka menyanyi :
          padamu negeri
          airmata kami

Tangan Menulis dalam Rahasia Bunga – Korrie Layun Rampan

 Tangan Menulis dalam Rahasia Bunga


tangan menulis dalam rahasia bunga
dalam kuntum-kuntum
dalam napas yang tidur

dalam arus mengalir
: mengalir
ke akar pohon ke daun ke bunga

kita tidur bersama
kita bernapas
: bersama

dalam bahasa bunga

gambar kekasih
dan pigura di wajah
bulan: berdarah!

ada yang bersinar dalam jiwa
pupusnya tembus
kata tak terkata

“tanah! tanah!”

Wednesday, June 20, 2018

Alat Peraga Perang - Ibe S. Palogai

Alat Peraga Perang

 
ia duduk berpangku tangan
di hadapannya sebuah peta membentang
ia pandang dengan mata mengenang
dua musim hujan telah ia kuasai
di kursinya ia duduk seperti tersangka
tak mampu mengakui kesalahannya
di atas peta berserakan mayat-mayat maya
dengan darah mengenang nyata
pukul dua malam ia membuka jendela
hujan jatuh dan tak sanggup menyentuh tanah
hanya searsir peta yang menggenang
“semoga hujan mengubur mereka.”

Buah Hati - Joko Pinurbo

BUAH HATI


Langit memberkati kita
dengan hujan
yang istikamah.

Hatimu bersemi kembali,
tambah sabar,
tumbuh subur
dan berbuah.

Kau di dalam selimut,
aku di dalam kau,
merekah di malam basah.

Ingin kupetik
buah hatimu
yang merah
dan kau berkata, “Lekaslah.”

Kemolekan Landak - Warih Wisatsana

Kemolekan Landak
kepada Muriel Barbery


Sungguh tak ada nama kita di sini

Percuma merunut kata
                  hingga akhir cerita

Bukankah kita lalat tak ingin putus asa
berkali membenturkan diri ke kaca
berulang terbangun dini hari
                 mencari padanan arti
                 menimang bunyi

Menemukan goa tersembunyi dalam kata
dengan remang cahaya di ujungnya
Jalan berliku ke masa lalu
                di mana kau dan aku meragu
                bertanya selalu
Pada diri siapakah cermin ini terpahami?

Tapi semalaman tak kunjung kita temukan kiasan
bagi ular yang semusim melingkar di belukar

Atau buah apel dalam ingatan
yang membusuk perlahan
di mana seekor ulat merelakan rumah raganya
sebelum terbang jadi lebah kasmaran
bercumbu sekali lalu mati sendiri

Semalaman tak juga kita temukan
pengandaian sempurna bagi sang juru jaga
Landak molek
               yang menyimpan duri dalam diri
menahun di batin tak tersembuhkan

Berulang kita menimbang
                  meluluhkan arti dan bunyi
agar kisah ini direnungi berkali
mengalir dari kamar ke kamar
bagai tulisan pesan orang mati

Mengalir seturut kelana kucing tua
yang tidur di sembarang taman
mengikuti dari kejauhan
dua perempuan paruh baya
terdiam
              menyeberangi malam

Sungguhkah setiap hari menunggu
seseorang mengetuk pintu
sambil menghapal derik jengkrik
dalam haiku
              yang tak kunjung
              sehening petang
Seraya minum teh
meresapi kehampaan

Tapi tak ada yang menyadari
di lantai tertinggi gedung menjulang ini
seorang bocah melankolia
                jemu pada ibu
Membayangkan bunuh diri setahun lagi

Tak kuasa ia melupakan bunga violet muda
hiasan aneka pakaian dalam
selembut jaring laba-laba
                yang mengelabui mata
Sederas ingatan cemas
seharian menghanyutkan ibu ke dalam cermin

Ya, tak ada nama kita di sini

Percuma merunut kata
                 hingga akhir cerita

Semua ini bermula dari lelaki tua
berharap terlihat selalu bijaksana
dengan segala mungkin
                ingin putri terkasihnya
menjelma si jelita panggung semalaman

Kiasan sempurna bagi landak molek
yang menyembunyikan duri dalam dirinya



2018

Para Pemabuk -- Asyari Muhammad

1/
aku menari hanya kepada-mu
mabuk di atas bukit
kemudian kugapai-gapai rinduku pada-mu
sebelum datang penghuni yang baru:


2/
di sanalah aku mabuk rindu
berguru pada malam
setia di atas bukit seakan menjamah langit


3/
para pemabuk menatap-nya
tawadhu’
khusyuk
di alam nyata



Jepara

Sajak 20 Butir Leunca Muda – Diah Hadaning

kekasihku,
santunan segala cinta tak pernah berkecambah dalam
pusar Adam dan Hawa tak pernah ingkar setia
hari-hari selalu berpacu dengan umurmu
adakah kau tahu
berkali telah kusentuhkan bunga putih dan merah
di ujung matamu yang penat dan lelap
karena kau bermimpi
mengunyah dua puluh butir buah leunca muda
kau tak bisa tegar menjadi naga penyangga bumi
memberikan perkasamu untuk membongkar peranda ini
bila dalam gengganganmu yang kencang
tetap kau mimpikan dua puluh butir buah leunca muda
apa lagi bila kau pun mulai mencoba
menyeret hatimu yang luka bukan oleh
pertempuran lantaran membela bukit-bukit Sukarno
atau siksa bayi dan bocah Campuchea tinggal kerangka
kau coba melipurnya dengan menjenguk-jenguk
daerah warung bubur dan segala macam parloba
kekasihku,
lebih baik aku membunuhmu di Kaki Tuhan
sebelum kau menghancurkan diri sendiri
dan dunia kita dengan polahmu yang hina
atau kau buang itu dua puluh butir buah leunca muda
dan bangun pegang tanganku
menyusul barisan yang telah mulai berangkat pergi.



 
Jakarta, 1979

Sunday, June 10, 2018

BUAH BIBIR - JOKO PINURBO

Buah bibir adalah ciuman:
manis yang tak mau habis,
segar yang takut hambar,
hangat yang ingin lekat,
sesap yang menyisakan senyap,
utuh yang berangsur luruh,
Buah cium adalah aduh.

Saturday, June 9, 2018

BATAS - AAN MANSYUR

Semua perihal diciptakan sebagai batas.
Membelah sesuatu dari sesuatu yang lain.
Hari ini membataai besok dan kemarin.
Besok batas hari ini dan lusa.
Jalan-jalan memisahkan deretan toko dan perpustakaan kota, bilik penjara dan kantor walikota.
Juga rumahmu dan selurih tempat dimana pernah ada kita.

Bandara dan udara memisahkan New York dan Jakarta.
Resah di dadamu dan rahasia yang menanti dijantung puisi ini dipisahkan kata-kata.
Begitu pula rindu, hamparan laut dalam antara pulang dan seorang petualang yang hilang.
Seperti penjahat dan kebaikan dihalang uang dan undang-undang.

Seorang ayah membelah anak dari ibunya, dan sebaliknya.
Atau senyummu, dinding diantara aku dan ketidakwarasan.
Persis segelas kopi tanpa gula menjauhkan mimpi dan tidur.

Apa kabar hari ini ?
Lihat,  tanda tanya itu 
jurang antara kebodohan dan keinginanku 
memilikimu sekali lagi.

Friday, June 8, 2018

ASMARAGAMA - SENGAT IBRAHIM

aku suka menjadi gila yang sering berbicara
di banyak tempat dan hanya kau satu-satunya
orang yang mampu menangkap pengertiannya.

aku suka menjadi gila yang sering menertawai orang
waras tanpa membuatnya tersinggung, kemudian
mereka membalas dengan senyum paling agung.

aku suka menjadi gila berjalan ke mana-mana
juga tinggal di mana-mana. karena segalanya
sudah menjadi rumah dan kau sebagai isinya.

aku suka menjadi gila yang selalu mengejarmu
kuingin kau tetap menjauh sebab segala sesuatu
yang bisa kusentuh pada akhirnya ‘kan rapuh.


Sengat Ibrahim

Thursday, June 7, 2018

JENDELA - JOKO PINURBO

Di jendela tercinta ia duduk-duduk
bersama anaknya yang sedang beranjak dewasa.
Mereka ayun-ayunkan kaki, berbincang, bernyanyi
dan setiap mereka ayunkan kaki
tubuh kenangan serasa bergoyang ke kanan dan kiri.

Mereka memandang takjub ke seberang,
melihat bulan menggelinding di gigir tebing,
meluncur ke jeram sungai yang dalam, byuuurrr….

BAJU BULAN - JOKO PINURBO

Bulan, aku mau lebaran. Aku ingin baju baru,
tapi tak punya uang. Ibuku entah di mana sekarang,
sedangkan ayahku hanya bisa kubayangkan.
Bolehkah, bulan, kupinjam bajumu barang semalam?
Bulan terharu: kok masih ada yang membutuhkan
bajunya yang kuno di antara begitu banyak
warna-warni baju buatan. Bulan mencopot bajunya
yang keperakan, mengenakannya pada gadis kecil
yang sering menangis di persimpangan jalan.
Bulan rela telanjang di langit, atap paling rindang
bagi yagn tak berumah dan tak bisa pulang.


(2003)
Joko Pinurbo

PUISI-PUISI AFRIZAL MALNA

Tanaman Tahun
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Pohon tumbuh sendiri, sapi berjalan sendiri
Kemarin aku berjanji menjengukmu
Nonton bersama
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Tak ada halaman lain pada tubuhmu
Waktu telah jadi bentangan kain
Potongan-potongan baju, ke Selatan ke Utara
Jam 10 malam, toko-toko telah tutup
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Siapa yang mau menunggu di sini
Orang-orang berlalu
Halaman rumah belum disapu
Semua orang datang semua orang pergi
Besok aku berjanji menjengukmu
Tanpa dirimu lagi
Di situ
1983



Karikatur 15 Menit
Karikatur 15 menit membawaku berpose, seperti raja-
raja telanjang dalam baskom. Lalu gadis-gadis 15 menit
berlengketan dalam kaleng-kaleng minum. Aku bunting
dalam percintaan ini, seperti kuda beranak dalam lemari
es. Lalu aku potret diriku jadi karikatur 15 menit. Studio
foto meledak, studio foto meledak, wanita-wanita cantik
lahir setiap 15 menit. Tak ada lagi kecantikan untuk
dipotret, karena setiap 15 menit layar diganti. Tak ada lagi
peristiwa untuk dipotret, karena setiap 15 menit orang
jadi karikatur.
Karikatur 15 menit mengubah diriku jadi menu
makanan, merek sabun mandi. Lalu dunia datang
padaku seperti kerbau goyang. Sebelum berangkat
menguap jadi gas atau busa sabun: 15 menit aku merdeka
sampai mati.
1987

Wednesday, June 6, 2018

Puisi-Puisi Acep Zamzam Noor

Pastoral 
Kabut yang mengepungmu
Telah runtuh menjadi kata-kata
Rumah kayu hanya menyisakan dinginnya
Dan sunyi mengendap di sana
Maut bukanlah kabut yang mengendap-endap
Tapi salju
Yang berloncatan bagai waktu
Dan menyumbat pernapasanmu
Beranjaklah dan jangan menengok
Ingin kusaksikan tubuhmu telanjang
Tanpa mantel keyakinan
Menjauh dan semakin menjauh
Kubah mesjid dan runcing menara katedral
Tenggelam di balik perbukitan
Senja mengental dalam gelas kopiku
Dan kureguk sebagai puisi yang pahit
Beranjaklah dan jangan menangis
Obor malam akan mengantarmu pergi
Melintasi jalan kesabaran
Menerobos hutan
Maut bukanlah kata-kata
Tapi doa
Yang memancar bagai cahaya sorga
Dan membakarku tiba-tiba
1991


Rue De Rivoli
Kita melaju dalam rintik gerimis
Yang menghapus semua alamat
Dari ingatanku. Udara seperti berombak
Sungai memantulkan gema
Napasmu gemetar
Di ranting-ranting poplar
Jembatan itu mengangakan rahang
Menelan musim
Yang meluncurkan perahu
Dalam cuaca dingin. Senja menjadi ajaib
Di tengah kebisuanmu
Dan redupnya angin
Ke sudut-sudut kafe
Tak ada yang perlu dilabuhkan
Kecuali jejak matahari. Sementara kau dan aku
Mungkin tak akan merubah arah sunyi
Dengan  mencari kehangatan
Pada gelas atau ciuman
1997


Puisi-Puisi Daruz Armedian

 Aku Sengaja Mencintaimu Untuk Kausia-siakan

aku sengaja mencintaimu
untuk kausia-siakan
seumpama jendela yang setia mengamatimu melangkah
pergi dan kembali meski yang kautuju adalah pintu
cukup aku menjadi jerawat
yang menolak tumbuh di wajahmu
agar kau tak malu dan berpaling
saat berhadapan dengan cermin dan orang lain
aku sengaja mencintaimu di dalam masa lalu yang jauh
masa di mana tak mungkin jemarimu menyentuh.

Daruz Armedian

Kepada Anakku

Anakku.. Seperti kata seorang pujangga Kau bukan milikku Kau adalah anak jamanmu Seperti aku adalah anak jamanku Tapi anakku.. ...