Thursday, June 7, 2018

PUISI-PUISI AFRIZAL MALNA

Tanaman Tahun
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Pohon tumbuh sendiri, sapi berjalan sendiri
Kemarin aku berjanji menjengukmu
Nonton bersama
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Tak ada halaman lain pada tubuhmu
Waktu telah jadi bentangan kain
Potongan-potongan baju, ke Selatan ke Utara
Jam 10 malam, toko-toko telah tutup
Satu dua orang datang satu dua orang pergi
Siapa yang mau menunggu di sini
Orang-orang berlalu
Halaman rumah belum disapu
Semua orang datang semua orang pergi
Besok aku berjanji menjengukmu
Tanpa dirimu lagi
Di situ
1983



Karikatur 15 Menit
Karikatur 15 menit membawaku berpose, seperti raja-
raja telanjang dalam baskom. Lalu gadis-gadis 15 menit
berlengketan dalam kaleng-kaleng minum. Aku bunting
dalam percintaan ini, seperti kuda beranak dalam lemari
es. Lalu aku potret diriku jadi karikatur 15 menit. Studio
foto meledak, studio foto meledak, wanita-wanita cantik
lahir setiap 15 menit. Tak ada lagi kecantikan untuk
dipotret, karena setiap 15 menit layar diganti. Tak ada lagi
peristiwa untuk dipotret, karena setiap 15 menit orang
jadi karikatur.
Karikatur 15 menit mengubah diriku jadi menu
makanan, merek sabun mandi. Lalu dunia datang
padaku seperti kerbau goyang. Sebelum berangkat
menguap jadi gas atau busa sabun: 15 menit aku merdeka
sampai mati.
1987

Arsitektur Hotel

Hotel sepi. Hotel mati. Seekor burung dari kamar ke
kamar, menyileti cermin. Dan batu-batu membuat
bangku, dan batu-batu membuat pintu, dan batu-batu
membuat tamu. Dada. Telur-telur mati mengisi hotel. Beri
aku orang.
Hotel mengubah orang-orang datang jadi orang-orang
pergi, menyetir mobil sendiri, menyetel radio sendiri,
memanggil burung-burung terbang, menghias sunyi di
setiap telur. Maka, dada, kupu-kupu bersarang jadi
pohon mati, burung-burung terbang jadi bukit mati. Ia
bangun manusia pecah.
Ini jam hotel. Dada. Waktu sedang membuat sarang,
membuat telur. Setelah semua janji dianggap tidak suci,
angin itu jadi hotel, semangka itu jadi hotel, sapi itu jadi
hotel. Maka jendela-jendela hotel, Dada, menunggu
semua yang pergi, menunggu semua yang lari,
menunggu semua yang tak setuju.
Biarkan tamu-tamu datang. Dada. Memecahkan telur
dari kamar ke kamar. Memecahkan telur dari kamar ke
kamar.
1984


Dada

Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi
terbaring dalam tangan yang tidur. Ingin jadi manusia
terbakar dalam mimpi sendiri. Sehari. Semua terbaring
dalam waktu tak ada. Membaca, Dada. Membaca kenapa
harus membaca, bagaimana harus dibaca. Orang-orang
terbaring dalam tubuhnya sendiri, orang-orang terbaring
dalam pikirannya sendiri. Mengaji, Dada. Mengaji.
Keinginan jadi manusia, menulis dan membaca di tangan
sendiri.

Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya
hidup, hanya hidup membaca dirinya sendiri; seperti
anak-anak membaca, seperti anak-anak bertanya.
Menulis, Dada. Menulis kenapa harus menulis,
bagaimana harus ditulis. Orang-orang menjauh dari
setiap yang bergerak, Dada; seperti menakuti setiap yang
dibaca dan ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa
membaca, menulis jadi mengapa menulis.

Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari.
1983


Orang-orang Jam 7 Pagi
Lemari makan dan atap rumah, ribut sekali semalam.
Sisa-sisa mie goreng seperti serakan orang bunuh diri.
Tikus mengundang teman-temannya di situ, membuka
lemari es, membayangi selokan got pada irisan mentega.
Tak pernah kutahu kebahagiaan dan kesedihan mereka:
Aduh! Ribut sekali kalimat seperti ini. Lalu sikat gigi,
suara air kamar mandi, mulai membuka pintu dan
jendela-jendela pagi.
Selimut masih membayangi sebuah kota, bersama
bubur ayam, mentega dalam roti, dan air mendidih di
atas kompor. Sepatu mereka mulai berbunyi, menjauh
dari teras rumah, bau sabun dan shampo pada rambut
basah. Suara ribut di meja makan mulai berubah jadi asap
knalpot. Aku adalah 3 km yang lalu dalam bis penuh
sesak, menelusuri koridor-koridor yang menyimpan
betismu. Lalu menghilang di balik lift. Aih! Tak ada lagi
masyarakat, pada telepon yang kau angkat.
Jam 7 pagi aku antar tubuhku dalam kristal-kristal
vitamin C, lembar-lembar fotocopi: tolong cumi kering
setengah kilo; minyak goreng satu botol; bawang putih:
siapa yang telah menyusun pagi jadi seperti ini?
Suaranya, seperti siaran berita yang menggebrak meja.
1995



Usaha Menjadi Ibu Rumah Tangga
Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun,
membukakan pintu. Ia tersenyum. “Tak apa, kalau tak
ada siang di sini,” katanya. Aku segera meletakkan tas.
Aku lihat matanya, sebuah pemandangan baru saja
mendapatkan sinar. “Bisakah besok kamu jadi ibu rumah
tangga,” katanya.
Pagi sekali aku bangun. Membereskan seprai.
Memasak air. Memandikan anak. Menyapu. Menyusun
pot-pot tanaman. Dan banyak urusan lagi untuk menjadi
seorang ibu. “Telepon aku jam 12 siang.” Masakan apa?
Semuanya aku kerjakan, seperti berjalan dari satu kota ke
kota lainnya. Nonton film. Memetik jambu. Ada ikan dan
kelinci di dapur, pemandangan putih ketika membuat
susu. Hingga aku hamil, melahirkan diriku sendiri,
membesarkannya. Dan mengerti, kenapa ia memanggil
“ibu” kepadaku.
Aku pulang malam sekali. Istriku terbangun,
membukakan pintu. Ia tersenyum. “Kenapa kamu
menjadi seorang ibu seperti itu,” katanya. Aku peluk
bahunya, seperti sebuah kamar, dengan jendela
menghadap ke bukit.
1997


Pelajaran Bahasa Inggris tentang Berat Badan
Maaf, berapa berat badanmu? Sebentar saja, kepalaku
satu kubik pasir. Tanganku 60 cm. Permisi, berapa jam
berat badanmu? Bibirku tebal. Tentu, kakiku coklat,
seperti bangunan pemerintah. Berat badanmu
bagaimana, please. Namaku Ahmad, tolol! No, kepalaku
satu kubik pasir. Ada saluran got. Irisan daging di
wastafel. Tunggu. Kenapa tanganmu keras? Seperti
kekuasaan. Kamu punya kebudayaan, ya? Wajahmu
merah. Anda suka juice tomat? Maaf. Berat badanmu
siapa? Kakiku ada di situ, tolol! Please ... please. Temani
badanku. Jangan begitu. Satu karung pasir untuk apa?
Sorry ... di mana berat badanmu? Maaf, jangan pegang
hidungku. Kekasihmu mana? Wortel dan buncis sudah
direbus. Permisi, sudah mendidihkan air itu? Bulu kucing
di matamu lucu, ya. Beautiful. Pakai saja baju batik itu.
Nanti pacarku curiga. Jangan lupa, namaku Ahmad!
Idiiiih, masa tidak pakai sabun? Aaaaaaa, kok kupingnya
seperti itu? Maaf, pernah melihat berat badanku?  Mau
membuat esei, ya? Tentang kebudayaan? Analisa politik
dan ekonomi, ya. Sakit, dong, tanganmu.
1995


Fotokopi Orang Ramai
Tak ada lagi yang merasa perlu meniru jadi hujan,
kalau tak siapa pun perlu berbeda. Semua yang dilihat
telah mengenakan mantel, payung, dan sepatu
berlumpur. Segala yang besar telah tumbuh, meniadakan
arti pada hujan yang turun.
Selalu seperti itu peristiwa berlalu melampaui saya,
seperti menanam batu di depan pintu. Saya antar diri
sendiri ke situ, di antara orang-orang ramai bergerak,
mengisi dekor-dekor kota yang bukan miliknya. Melihat
hari seperti etalase menyimpan lenganmu.
Setiap saat saya harus meyakini kembali di situ, setiap
benda yang bergerak di sekitar saya: Meraba dinding,
memukuli tiang listrik, dan mendengar dentang jam
hanya untuk tahu: Di situ orang datang menuju dirinya
sendiri, seperti menuju ke sebuah daerah yang telah
lampau.
Saya orang ramai yang ditulis oleh peristiwa di situ,
telah jadi bahasa yang menafsirkan dirinya kembali,
ketika jalan raya menjemputnya pergi.
1987


Jam Kerja Telepon
Ini bicara dengan Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin
tak ada di mana-mana. Merlin sedang jadi bintang.
Merlin sedang jadi bintang. Saya ciptakan orang-orang
dari obat tidur. Tetapi suaramu parau, Merlin. Saya
menelanjangi diri sendiri, seperti menelanjangi dunia
yang minta saya jadi Merlin.
Tetapi Merlin tak ada di mana-mana, seperti dunia tak
ada di mana-mana, seperti orang tak ada di mana-mana.
Merlin telah jadi pamflet dari keinginan jadi manusia.
Tolong sambungkan saya dengan dunia mana pun,
Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin tak ada di mana-mana.
Merlin sedang jadi bintang, mengubah dunia jadi obat
tidur. Kau menangis, Merlin. Saya menyaksikan orang-
orang lahir dari telepon. Mereka memaksa saya jadi
Merlin. Mereka memaksa saya jadi Merlin. Dan saya
meneguknya dalam putaran: Pil!
Saya mencium bau busuk dari telepon. Saya
kehilangan kontak. Saya tercekik. Saya bukan Merlin.
Merlin telah jadi ibu, Merlin telah jadi ibu, dalam TV-TV
merah kuning hijau biru dan sepi.
1986



Dalam Gereja Munster
Pintu tebal gereja Munster, melepaskan tubuhnya di
tepi Sungai Rhein, di Basel. Tiang-tiang meninggi,
membuat malamnya sendiri. Kursi-kursi dingin,
membuat ruangnya sendiri juga. Bukankah telah aku
tinggalkan rasa dingin itu, di Schilthorn, bentangan salju
di puncak-puncak air terjun, menurunkan sebuah kota
dari gumpalan-gumpalan es. Langit putih kelabu telah
disalibkan dalam gereja tua itu, lenganku terguncang.
Aku tersedu, bertamu padamu.
Masih ada donat di tangannya, jari letih ungu, dan
peta lipat  menjatuhkan batu-batu. Temanku hilang
dalam kesedihan: Selamatkanlah mereka yang bercinta,
katanya. Lalu aku sentuh, bahunya jadi tembok sunyi 
bertuliskan: “Amis raus! – Pergi orang-orang Amerika!”
dengan huruf-huruf gemetar, di gereja St Marien. Aku
tunggu lagi dia, di stasiun bawah tanah. Tubuhnya hotel
yang sepi, poster, dan orang-orang bergegas ...
Kereta telah disalibkan dalam gereja tua itu, berderak
lagi. Membawa remaja-remaja bercumbu, dan hari esok
putih menggumpal. Aku tersedu. Lonceng-lonceng gereja
berdentangan lagi memanggilmu.
Sejak paskah itu, aku tahu, kita tak perlu bertemu lagi ...
Kursi telah malam. Piring telah malam juga.
1993




Makan Malam Bersama Ama dan Ami
Ama dan Ami memesan rendang. Saya memesan gulai
tunjang, satu gelas teh manis. Di luar, gerimis memotret
kota Padang. Seperti kereta batubara berjalan sendiri,
membuat lembah dari rel-rel besi dan gerobak sapi. Tak
ada partai sosialis dan Masyumi di sini, juga seorang
kemenakan yang hilang di kaki lima. Edy sedang
mencukur bulu hidung waktu itu. Noni memasak telur
dadar. Tiba-tiba dua gadis kembar berusia 5 tahun,
mengucapkan dialog-dialog peri dari negeri Hamlet. Ada
es krim warna-warni pada tawa lucu Ama dan Ami,
seperti tanah air yang lain. Mereka memang pernah jadi
peri dalam pertunjukan itu, meramal tragedi Hamlet, dari
kekuasaan paman dan ibu. Lalu mereka berlari-lari kembali
ke masa kanak-kanakku, yang menunggu di depan pintu.
Waktu itu saya berusia 5 tahun, Ama dan Ami sedang
minum susu di pasar Bukittinggi, mengumpulkan
bangkai-bangkai rumah dari Kota Gadang: “Para
perantau itu,” kata ibuku, “seperti rumah-rumah Minang
yang menusuk telapak kakimu.” Lalu seekor anjing
berlari dari ujung jalan, seperti negeri berada dalam
bahaya perang PRRI. Tahu, politik tidak ikut campur
mengatur kamar mandi saya.
Tetapi tutup pintu itu!
Angin dingin di Padangpanjang, kabut dalam sorotan
lampu senter, membuat Ama dan Ami gaduh dalam masa
kanak-kanakku. Mereka memakai sepatu ayah, memakai
topi ayah, memerankan Hamlet yang terusir. Kamar
hotel, yang berdiri di depan kantormu, Edy, gemetar,
memotret negeri ibu sendiri lewat siaran radio.
1994




Jamal Menari
Jamal menari. Tangannya gemulai, seperti bunga
dirangkai seorang gadis. Tetapi matanya penuh pecahan
telur: “Inlander dilarang masoek,” katanya. Ada yang
bergerombol di luar sana. Konservatif. Tubuhnya cairan
otak dalam botol, dan semacam minyak tanah bercampur
air. Kemudian orang-orang asing datang, mengajar
menari. Memasang pengeras suara di gedung-gedung
pemerintah. Tetapi ketika aku mulai menari, menabrak-
nabrakkan tubuh pada tembok, aku lihat pengeras suara
pecah di atas kepalamu: Aku putus asa untuk jadi orang
asing, juga putus asa untuk jadi inlander.
Jamal, temanku dari Madura itu, kemudian berdoa
dengan baju tebal yang gemetar, seperti Abu Nawas
menghadap raja: “Yang mulia, aku terlalu lemah untuk
jadi orang asing, tetapi juga terlalu lemah untuk jadi
inlander.”
Di tengah pesta, dari orang-orang yang merasa dirinya
pemberontak, aku kena diare. Tarianku jadi kacau, seperti
pengeras suara yang pecah di atas kepalamu itu:
“Inlander dilarang masoek”. Aku bersumpah: Dunia
konservatif sedang memakan jantungmu.
1995





Saya Menyetrika Pakaian
Dia adalah deru kereta .... Seorang wanita Indonesia di
Bern, membuat bahasa aneh, dari jaket kulit dan
pembebasan visa: “Suami saya seorang Itali. Tetapi saya
dari Gunung Kidul.” Di Sungai Melezza, batu-batu
berkaca menghanyutkan kembali lukisan-lukisan Bacon,
jadi bangkai-bangkai rumah Abad 20. Rasialisme telah
tertanam dalam warna kulitku. Dia adalah sapi dan sepeda,
di antara gereja, kafe, dan batang-batang rel kereta.
Perkenalkan, namaku Muhamad Amin, dari Irak. Tapi
sebuah negeri telah membuatku hidup hanya dari wortel,
body lotion, dan paspor yang menyimpan keresahan para
imigran. Dia adalah seorang Jerman, yang belajar
tersenyum dari tomat-tomat yang tumbuh di balkon.
Danke. Revolusi Iran telah mengusirku hanya karena
teater. Lalu para seniman menolak setrikaan di Monte
Verito. Dia adalah ... tiba-tiba ingin jadi makhluk danau
di Ascona. Mengirim bukit-bukit berhimpitan, tanpa
Hitler, Madonna, atau si jenggot dari Trier: Ini tembok
untukmu, Berlin, jangan sedih.
Tetapi bank-bank telah menanam Suisse, di antara
kantor-kantor pemerintah, seperti bunga di kamar mandi:
Siapa yang mau bunuh diri dengan keindahan. Wi, wi ...
mari. Dia telah membuat sebuah negeri dari perahu
penyeberangan, di sepanjang Sungai Rhein. Tetapi di
sebuah pesta ulang tahun, dia adalah sejumlah pelukan
bernyanyi ... oh, my papa ... “Namaku Lili dari
Madagaskar,” dalam bahasa Perancis yang tercekik.
1993




Kalung dari Teman

Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah
restoran dengan seorang teman lama. Kami berusaha
saling membagi cerita. Tapi kemudian saling tahu, kami
tetap berada dalam kereta berbeda. Dari jendela kami
hanya saling melongok. Kenapa tidak bisa saling berbagi
halaman? Ada nomor teleponnya dalam kantong baju
saya, sebuah sungai di bawah bantal. Tiba-tiba waktu
seperti binatang buas. Taring-taring bahasa mengintai
kami dari balik jendela.

Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan
waktu di sana, jam 12 malam dalam tubuh saya. Siapa
yang telah mati dengan cara begini? Pelayan restoran
meletakkan lembaran nota di meja makan kami, tak
peduli dengan kuburan itu. Di luar saya lihat sebuah
bangunan baru telah berdiri lagi. Saya menggapai-gapai
dirimu, seperti bahasa yang mengubahmu terus-
menerus.

Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis
di luar jendela. Membasahi daun-daun di halaman,
membuat pot untuk waktu. Di luar, kereta telah berlalu,
meninggalkan kami di peron yang sama. Tetapi matanya
seperti ingin memanggil seluruh orang, ingin
membenarkan dirinya tumbuh bersama waktu. Ingin
melihat air mata kata-kata. Ingin membuat puisi dari
genggaman lengan bayi. Melihat taring-taring bahasa
membuat untaian kalung permata di leher kami.

Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya.
Menjadi api. Membakar apa saja di sekitar saya. Api itu
ikut membakar kami berdua. Saya dan teman saya
menjadi kalung api. Lalu pergi meninggalkan restoran
itu. Restoran yang telah kami bakar. Api bahasa terus
berkobar-kobar, seperti tanaman api, yang sepanjang
masa ingin kau padamkan
1997





Kucing Berwarna Biru
Sudah tiga malam ini seekor kucing sakit, selalu tidur
di depan pintu rumah saya. Ia mengeluh dan mengerang.
Suaranya seperti keluar dari rumpun gelap di halaman
rumah. Kadang seperti makhlus halus yang sedang
membuat perjanjian dengan pohon nangka di halaman
rumah saya. Orang bilang kucing itu kena teluh. Saya
mencoba mengusirnya. Tetapi kucing itu menatap saya
seperti mata ibu saya. Katanya, dirinya adalah roh saya
sendiri yang sedang sakit. Ia mohon agar bisa tidur
dalam kamar saya. Saya tak tega mengusir kucing itu.
Bulu-bulunya seperti kenangan saya pada kasih sayang.
Malam berikutnya saya mulai terganggu. Keluhnya
berbau darah. Ia mulai menginap dalam pikiran saya.
Setiap malam, seperti ada rumpun gelap dalam diri saya,
menyerupai kucing yang sakit itu. Suara gaib di depan
pintu. Setiap malam, seperti ada pohon nangka yang
berjalan-jalan dalam tubuh saya, menyerupai kucing
yang mengaku sebagai roh saya yang sedang sakit itu.
Akhirnya saya membunuh kucingitu. Menjerat lehernya
dengan tali plastik. Matanya seperti kematian yang
mengetuk kaca jendela.
Besok pagi saya temukan mulut, telinga dan lubang
hidung kucing itu telah mengeluarkan tanah, berwarna
merah. Rumput-rumput tumbuh di atasnya. Saya lihat
ikan-ikan juga telah berenang dalam perut dan tengkorak
kepalanya. Dan seperti seluruh surat kabar, matahari
tidak terbit pagi itu.
1997





2 X 2 Meter
            Di sini ada pohon keramat, memancarkan air. Satu-
            satunya sumber air bersih di kampung ini. Anak-anak
            menangkap ikan . . . dalam lumpur.
Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan.
Tentang kota dan kampung yang padat. Inem, Yana dan
Kunah, bekerja sebagai buruh jahit. Cacuk menjual
bakmi. Jangan lupa selametan nanti malam. Edy baru
lulus sarjana. Dedy tidak tinggal lagi bersama orang tua.
Kuro tidak lagi mencari perempuan dari desa. Besok, jam
8 malam, kami akan membuat pertunjukan. Tentang
puskesmas di antara kubangan lumpur. Sumbangan mesjid
dan setoran keamanan toko-toko. Ke manakah Wardah
mereka bawa? Mulut kami seperti massa di loteng-loteng
berhimpit. Langit dari seng dan plastik bekas. Iwan dan
Firman sakit perut. Ada golok tumpul di bawah bantal.
Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan.
Tentang hati kami yang tak bisa dibakar. Ketakutan telah
berhimpitan di setiap tikungan gang. Orang-orang dari
desa terus datang ke rumah kami. Tangga kecil dari kayu,
tempat memasuki kota. Besok, jam 8 malam, kami akan
membuat pertunjukan. Tentang keputusan lurah. Di
kamar mandi masih ada sisa banjir, dan iuran sampah.
Sepatu dan sandal berserak di pintu. Bersama ibu-
ibu menggendong anak, sambil mencuci baju-baju kotor,
sambil memasak sayur, sambil memikirkan nasib suami,
sambil ke pasar membeli ikan asin.
Besok, jam 8 malam, kami akan membuat pertunjukan.
Tentang hati kami yang tak bisa digusur. Bau telur
digoreng dan bunyi kipas angin. Kota terus melangkah,
ingin merebut kamar kami dan sisa udara pengap. Nama-
nama kampung telah berubah dari Tanah Sereal, Roxi,
Jelambar, dengan taksi ke Bintaro, Pondok Indah dan
kondominium. Kisah kami tinggal 2 X 2 meter.
Jangan lupa, Sumi, Cacuk. Besok kami akan membuat
pertunjukan, jam 8 malam. Tentang Tini yang hatinya
terbuat dari 2 X 2 meter. Menunggu pohon keramat.
Menunggu sumber air bersih. Kota telah berjalan. Jauh.
Tak pernah puas. Tak pernah memberi pemandangan lagi
untuk hatinya. Besok, jam 8 malam, kami akan membuat
pertunjukan. Jangan lupa.
1997




daftar indeks
dan berjalan. Dan tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan.
Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di
sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan
memotret kucing kawin di rumah Lely. Dan menengok kuburan
temanku di surabaya. Dan anaknya sudah kuliah. Dan anaknya men-
girim sms, siapa bapakku? Dan anaknya tidak tidur dalam kamar
ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan membakar sampah. Dan
memotong rumput. Dan mengambil kantong plastik yang dibuang
orang di pinggir jalan. Dan mencium anak anjing. Dan menengok
teman yang menangis di depan laptopnya. Dan ingin hidup dalam
suara Maria Callas. Dan tak punya uang. Dan menunggu honor dari
puisi. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa. Dan mandi. Dan
ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah mengatakannya.


Antri Uang di Bank
Seseorang datang menemui punggungku
Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku



Seminar Puisi di Selat Sunda
Untuk Goenawan Mohamad

Sebuah meja malam dari kayu, bekas puntung rokok
yang hangus di permukaannya. Kita makan bersama.
Malam yang samar-samar di tengah kota. Sebuah
revolusi yang berganti kaki, di atas sebuah kapal
perang yang diparkir di Selat Sunda. Sebuah
perundingan untuk menjemput diri sendiri: Kaki-kaki
kanan buntung – kaki-kaki kiri buntung. Tidak tahu,
atau berjalan atau tidak berjalan. Tidak tahu, atau
duduk atau berdiri. Bau belerang dari punggung
krakatau, melukis kembali peta-peta di atas kata-kata
yang menggerutu.
Sebuah kemerdekaan tidak dirancang dengan
berteriak: musuh sudah ada di luar pagar, tetapi juga
sudah ada di dalam pagar. Sebuah republik yang
terbayang di pintu belakang. Seorang lelaki di pintu
kaca: tidak tahu, apakah ia berjalan keluar atau
berjalan masuk. Hilir-mudik para peneliti Indonesia
yang kurang tidur, dalam bahasa Indonesia yang
lelah. Sebuah bank di antara tentara-tentara
perdamaian. Aku bersamamu, dalam satu mobil
tua, lelaki seperti pohon nangka itu, saling menatap
tetapi tidak saling melihat. Sebuah buku puisi,
di pangkuan seorang perempuan.
“Di manakah kita, melihat kata, sebagai kematian
seorang ibu.”
Sebuah pintu, entah di belakang rumah entah di
depan rumah. Sebuah pintu kaca untuk melihat
ke luar untuk melihat ke dalam. Sebuah kata untuk
membungkam selogan. Seorang Sukarnois yang me-
nyimpan kartu pos patung liberty di saku
mantelnya. Sebuah nyanyian cinta dari Leonard
Cohen yang parau: Dance me to the end of love.
Asap rokok tentang pendidikan para pemimpin, di
antara korek api dan badai sebuah pesta. Seorang
lelaki yang menggenggam tangisnya di sudut sebuah
restoran. “Aku melangkah dari sebuah koran lokal,
sejak masa remajaku, di sebuah desa, antara revolusi
3 kota. Dan sebuah novel tentang kejahatan tentara
gerilya, di halaman-halaman yang dipasangi alarem.”
Sebuah poster pertunjukan. Di luar atau di dalamkah
pertunjukan itu berlangsung? Bagaimanakah Kunti
menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah,
Karna? Bagaimanakah matahari menciptakanmu
dari anak-anak panah, dan menjemputmu kembali
di sebuah pagi yang merah. Bagaimanakah Caligula
membenamkan akal sehat ke dalam keuangan
negara? Ceritakanlah sekali lagi, Caesonia, bagaimanakah
aku menitipkan cinta dalam pelukanmu, ketika semua
telah menjadi gila di tangan suamimu. Kekuasaan
telah mengambil cahaya bulan dari ladang pikiran
kita. Bagaimanakah puisi membuat kita bisa berjalan
bersama bayangan sendiri, melewati diri kita sendiri
yang masih tertidur di sebuah kereta.
Seorang penjaga tiket pertunjukan, juga seorang
penjual air bersih di sebuah kantor majalah. Seorang
wartawan yang membidik dengan kata. Sebuah
kamera di dasar bahasa. Dan seorang lelaki di jen-
dela kaca. Sebuah kantor majalah yang
kontruksinya tertanam di abad 19, sebelum perang
dunia, sebelum menukar rempah-rempah dengan
sebuah bangsa. Jalan gula yang membuat jalur kereta
dari Klaten ke Amsterdam. Lelaki itu, bayangannya
di luar dan bayangannya di dalam. Bau tembakau
mengubah kenangan tentang mantel yang dikena-
kannya, antara warna tanah dan lebih kelam lagi dari
warna pasir. Warna yang mengecat sejarah kembali
ke warna yang sama. Bau tembakau yang menggeng-
gam kesedihan dalam sebuah lubang pentilasi.
“Apakah aku telah berdurhaka padamu, ibu, agar
kau tidak lagi melahirkan seorang pembunuh.”
Udara AC jam 2 malam mengingatkannya tentang
sebuah hutan kata-kata. Sebuah republik di lantai
dua, bukan? Dan pertengkaran tentang di mana letak
tangga itu untuk naik ke lantai dua, antara musim
hujan dan perkebunan tebu yang sudah kita bakar.
Sebuah revolusi di antara kaki-kaki yang berganti.
Sebuah malam yang aku sisipkan dalam buku sejarah
puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di
halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum
gerhana. Cukup dengan 1000 slogan untuk
menggenggam kesedihan yang menggenang di lantai
dua. Cahaya matahari pagi bertahan di atasnya.
Untuk harapan, untuk ibu-ibu penjual nasi bungkus
di pasar rakyat. Apakah. Apakah materialisme sejarah
telah mati, dalam sebuah mata kuliah psikologi
tentang kelas sosial? Apakah. Apakah revolusi telah
dihapus, dalam sebuah kapal dagang yang berlayar
di jalur api? Menciptakan milisi jadi-jadian untuk
meruntuhkan daya hidup bersama. Apakah. Tentang.
Tetapi.
Lelaki itu berdiri di atas tangga dan turun ke lantai
bawah. Dia seperti terus berjalan di tangga itu. Setiap
dia melangkah, anak-anak tangga itu seperti terus
bertambah, hampir lebih cepat dari langkahnya sendiri.
Langkah yang menciptakan anak-anak tangga
daripada melalui anak-anak tangga itu sendiri.
Apakah dia sedang turun – apakah dia sedang naik.
Menambahkan waktu dalam sebuah kereta pada
setiap langkahnya. Berikan aku sebuah kata, untuk
tidak mengatakan apapun tentang luka yang
tumbuh di halaman pertama sejarah kebangsaan.
Dan tentang diriku sendiri yang masih mencium bau
pikiran dari topi yang pernah kau kenakan. Pikiran
yang berusaha mengubah sebuah tangisan menjadi
gerimis, sore yang samar-samar di antara daun-daun
yang tumbuh merambat. Kebebasan yang dirawat
dalam sebuah perjudian antara Duryudana dan
Yudhistira.
Aku mengenal lelaki itu. Seseorang yang berjalan
seperti dengan suara kertas koran yang diremas.
Suara antara puisi dan puing-puing kata. Dia seperti
sebuah pagi, di antara kerumunan malam yang
samar-samar. Dia ingin menjemput kembali revolusi
itu, dengan sebauh opera tentang kesunyian.
“Kita telah melihat, seorang ibu membuat sebuah
luka di mulut seekor harimau.” Untuk para sahabat,
dan sebuah kata yang tidak bisa mengatakan: angin
yang mengirim garam, menjaga musim hujan di
Utara. Di sini.



Menggoda Tujuh Kupu-kupu
Aku tidak berjalan dengan mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur. Orang di sini membawa beban berat. Bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya sampah. Bukan pergi dan tidak tidur. Kita
sibuk mencari tempat membuang sampah itu untuk mengisinya
kembali dengan sampah. Kau pergi dengan mata tidur. Aku tidak
berjalan dengan mata melek dan tidak mengukur yang terlihat.
Kau latihan yoga dan menjadi tujuh kupu-kupu. Aku melihat kau
terbang dan tidak bisa ikut masuk ke dalam kupu-kupumu. Ke-
adaan seperti gas padat dalam lemari es. Tetapi tidak ada ledakan.
Aku tidak mendengar suara ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup
menjadi mudah, karena memang hidup sudah tidak ada. Menjadi
benar oleh kebohongan-kebohongannya. Menjadi indah oleh
kerusakan-kerusakannya. Aku di dalam pelukanmu dan di luar
terbangmu. Membayangkan tujuh kupu-kupu mulai menanamkan
sayapnya dan menanamkan terbangnya. Mengganti bumi pertama
dengan rute sungai Marne yang membelah mimpi-mimpimu.



Di Seberang Selembar Daun
Aku bukan seluruh daun di pohon ini. Aku hanya
selembar daun di pohon ini. Hanya pohon ini dan
hanya selembar daun. Aku hanya selembar daun
yang tumbuh di leherku. Hanya berwarna hijau sep-
erti selembar daun. Aku hanya selembar daun yang
berbicara menggunakan mulutku. Maksudku,
mulutku adalah selembar daun yang berbicara
menggunakan mulutku. Maksudku, aku hanya
selembar daun yang selembar daun. Jangan rayu aku
untuk menjadi pohon walau kau berikan tuhan kepa-
daku. Jangan rayu aku untuk menjadi seluruh daun
pada pohon ini walau kau berikan janji kematian pa-
daku. Aku bukan soal kematian dan soal tuhan. Aku
mirip, maksudku mirip dengan pertanyaan aku hidup
bukan untuk seluruh yang kau katakan setelah
kematian. Setelah kematian aku bukan hidup dan ke-
matian bukan selembar daun yang mewakili seluruh
daun di pohon ini.
Aku hanya selembar warna hijau dari pohon yang
aku tak tahu namanya. Pohon yang membuat aku
tahu aku berada di sini dan hidup di sini. Maksudku,
jangan kau takuti aku seperti kanak-kanak yang
berlari di seberang kematian. Aku mengingatnya,
waktu-waktu, dan, lihatlah di luar sana, lihatlah
orang-orang berjalan dengan kakinya, pohon-pohon
tumbuh, anak-anak bermain merasakan kebahagiaan
memiliki tawa, langit yang dibuat dari rambut
perempuan. Aku adalah selembar daun yang dijahit
pada sebatang pohon.



Proposal Politik Untuk Polisi
          “Toean-toean, saja mendjamin bahwa pemerintahan kita
          tidak lagi popoeler, baik di antara rakjat ketjil maoepoen
          pedjabat boemiputra rendahan ataoe pedjabat tinggi …
          rasa tidak puas jang merebak, baik di kalangan para bang-
          sawan maoepoen rakjat djelata, terhadap bagaimana tjara
          pemerintah dikelola dan keadilan ditegakkan. Sedjak akhir
          1900, muntjul sematjam gerakan terorisme … ataoepoen
          gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Tampaknja di
          pusat birokrasi pemerintahan tidak memahami makna ini
          semua.” (P.J.F. van Heutsz, 1904-06) 
Aku dilanda kedatangan diriku sendiri, di sana dan di sini. Melihat
kegagalan yang terus-terang di setiap yang kuciptakan. Antara
mesin-mesin dan sistem dalam lubang kesunyian, pembelian dan
penjualan yang saling membuang. Hiburan dan barang-barang
yang dibeli di sana dan di sini. Kenangan dalam puing-puing
perubahan. Sisa-sisa hutang dalam peti mati tak terkunci. Pidato
musim hujan di semua saluran keadilan yang tenggelam. Tanah
dan suara api di atas meja makan. Kau dan aku berdiri di sini.
Tetapi tidak pernah berdiri bersama. 
Aku memotret telapak tanganku sendiri, seperti memotret sebuah
kepulauan terbuat dari bubur kertas. Pengeluaran terus-menerus
di sana dan di sini, lebih panjang dari jalan yang kulalui ke depan
dan ke belakang. Suara gesekan butir-butir beras dalam panci,
seperti data-data ekonomi yang kehilangan mesin hitung. Hatiku
tenggelam dalam permainan sejarah dan baju untuk masuk surga.
Laporan keuangan yang berjalan-jalan di akhir tahun. Daya hidup
yang menjadi puing-puing dalam perdagangan ilmu pengetahuan,
data-data di sana dan di sini. Kesehatan yang diramalkan vitamin C
dan sikat gigi. Aku dilanda kedatangan diriku sendiri,
untuk membeli kesunyian, udara bersih dan lapangan
kerja.
Tuan-tuan, bisakah kegagalan dipotret, untuk melihat
bagaimana caranya kita tertawa dan tersenyum.
Bisakah kita memotret sikat gigi di tengah puing-
puing daya hidup yang terus digempur dari sana dan
dari sini. Daya hidup yang menjadi mainan pendaya-
gunaan kekerasan. Laporan pertumbuhan penduduk
yang menjadi api pada jam makan malam kita.
Tuan-tuan, bisakah kita membaca sekali lagi, dari
huruf-huruf tak bermakna. Dan mereka menciptakan
bahasa, dari setiap kegagalan, dari setiap sejarah luka
di sana dan di sini, dari dansa perpisahan di malam
minggu. Berdirilah kita di sini, seperti tanaman yang
menunggu tukang kebun. Tidak membiarkan sebuah
kepulauan menjadi saluran got bersama.
Tuan-tuan. Di sana dan di sini. Musim hujan yang
telah berwarna biru di kotamu.



Mesin Penghancur Dokumen
Ayo, minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa
muda. Makanlah kalau begitu, tolonglah. Tidak. Saya
tidak sedang nasi rames. Masuklah ke kamar mandi
saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar,
kalau bosan makan. Perkenankan aku memberikan
keramahan padamu, untuk seluruh kerinduan yang
menghancurkan dinding-dinding egoku. Bagaimana
aku bisa keluar kalau kamu tidak masuk.
Kamu bisa mendengar kamar mandiku memandikan
tata bahasa, di tangan penggoda seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing tanganmu. Masuk-
lah di sini yang di sana. Masakini yang di masalalu.
Masuklah kalau kamu tak suka tata bahasa. Tolonglah
kalau begitu, ganti bajumu dengan bajuku. Mesin
cuci telah mencucinya setelah aku mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku bunuh diri 12 menit yang
lalu. Bayangkan tubuhku dalam baju kekosongan itu.
Tolonglah bacakan kesedihan-kesedihanmu:
“Kemarin aku bosan, hari ini aku bosan, besok akan
kembali lagi bosan yang kemarin.” Apa tata bahasa
harus diubah menjadi museum es krim supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas
nama bahasa, adalah topeng api. Pasar yang
mengganti tubuhmu menjadi mesin penghancur
dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam
prosa-prosa seperti ini, seorang pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus. Sebuah puisi murung
dalam mulut mayat seorang penyair.
Tolonglah, tidurkan aku dalam kesunyianmu yang
tak terjemahkan. Mesin penghancur dokumen yang
sendirian dalam kisah-kisahmu.


Mantel Hujan Dua Kota
Kota itu telah jadi Semarang sejak air laut ingin
mendaki bukit, dan pesta tahun baru di ruang dalam
bangunan-bangunan kolonial. Minum persahabatan
dan melukis fotomu pada dinding musim hujan.
Sepanjang malam ia mengenakan mantel dari listrik:
kota yang mengapung 45 derajat di atas sejarah.
Dalam mantelnya, rokok kretek dan kartu atm.
Mahasiswa bergerombol di warung kopi, mengambil
ilmu sastra, ilmu komunikasi, antropologi dan
jam-jam belajar dari pecahan kaca. Akulah anak
muda yang bisa memainkan bas elektrik, blues
dengan sisa-sisa kerusuhan dan sisir yang patah. Aku
telah banjir di lapangan kerja dan kenaikan gaji
pegawai negeri. Para arsitek yang membuat desain
kota bersama air laut dan hujan.
Biarlah aku sampai ke batas tepi ini, untuk jejak yang
membuat lubangnya sendiri.
Kereta keluar dari mulut stasiun Yogyakarta, bau
tembakau dari pesta seni rupa dan sapi goreng. Aku
kembali bernapas setelah ribuan billboard kota
adalah mataku yang terus berputar, waktu yang
terasa perih. Rel kereta api masih menyimpan saham-
saham VOC sampai Semarang. Tanah keraton yang
menyimpan telur ayam, mantel biru masih
menyanyikan keroncong Portugis. Bau tebu, bau padi,
bata merah yang dibakar. Aku telah Yogyakarta
setelah berhasil menjadi orang sibuk tidak mandi 2
hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda
padat. Dan bir dingin di antara janji-janji.
Aku telah dua kota dalam perjalanan dua jam
bersambung sepeda 6 jam pagi. Biarlah aku sampai
ke batas tepi ini. Sebuah kota yang terbuat dari jam
6 pagi, dan aku mempercayainya seperti genta yang
berbunyi tanpa berbunyi, bayangan gunung sebelum
biru dan sebelum kelabu dan sebelum di sini.


Teknik Menghibur Penonton
Kebahagiaan peti mati mengucapkan selamat tahun baru.
Maksudku, peti mati dan tahun baru.
Kata-kata melintasinya dan jatuh seperti burung yang
ditembaki dalam mata pelajaran biologi.
Intelektualitas yang merasa bisa menjadi mediator
antara tubuh dan realitas, terjungkal dari rak buku.
Maksudku terjungkal dan rak buku.
Titik dan koma tersesat dalam perangkap titik dan koma.
Kata-kata telah ditundukkan oleh badai kamus.
Dipisahkan lagi antara badai dan kamus.
Sebuah bossanoba di tengah api perpustakaan.
Dipisahkan lagi antara musik dan api dalam perpustakaan.
“Tuan penghibur,” kataku, untuk melihat rohku
di antara kumpulan harga apartemen dan tiket
pertandingan sepak bola.
Baskom dalam timbunan penduduk kota.
Tepuk tangan para pembuat parfum
dan mesin pencetak dari rumah sakit.
Thank you.
Tuan penghibur.
Thank you.


Tubuh Lublinskie di Lorong Es Hitam
Untuk gas
Musim panas berjalan-jalan di luar bajumu.
Dari seluruh warna merah yang dipadatkan.
Baju dengan jahitan tentang ketakutan
dan kesedihan. Lorong es hitam pelarian Yahudi
di Grodzka, jadi jalan turis.
Musim panas yang masih menjahit gerimis,
setiap jendela cuaca dibukan dan ditutup.
Tidak tentang yang terkunci di luar atau di dalam.
Tentang bibirmu
meninggalkan biji cengkeh di lidahku.
Membisikkan puisi-puisi Wislawa Szymborska,
dengan tas koper terus memunguti bayangan kita
di belakang. Tidak memisahkan kalimat dengan koma,
setelah masa lalu dan masa kini.
Kita meminjam sayap burung untuk tidak
berbahasa lagi seperti manusia.
Terbang.
Seperti dalam ruang di luar suhu kematian.
Seperti matahari menawarkan ilusi tentang bayangan,
dan sebuah bis yang membawa malam ke Warsawa.
Malam yang terus direnovasi dalam lampu-lampu
kota yang sedih.
Menggeser musim panas ke tangga menuju
kastil-kastil kesunyian,
kafe-kafe yang menyembunyikan teriakan
dari tenggorokan terluka.
Mata lelaki dalam kantong plastik
mulai berkerumun di taman kota.
Pelayan kafe membawa menu sejarah,
secangkir kopi dan ice cream tentang kita.
Lukisan sejarah perang dan kunci besi
di Museum Lublinskie.
Kita berjalan di sebuah kota yang telah menjadi
selembar menu makanan.
Deru pesawat dan kereta masih merenovasi pelukan
kita, antara passport, peta perjalanan dan gereja-
gereja tua. Aku tidak tahu lagi bedanya antara
memeluk dan bersujud memuja kesedihanmu.
Di tas koperku masih peti mati yang meminta visa
untuk kebebasan bernapas.
Sayangku, tidur tidak bisa mengecat mimpi kita.
Lublin telah menjadi piano kesunyian di luar malam.



Workshop 5: Tawanan Aku
gema suaranya kembali lagi membuat dinding bunyi
dari suaranya
berdiri melingkar
di depan bulatan penuh perangkap waktu
jari-jari yang menggenggam tikus
dan perangkapnya di belakang membuat makan malam
seperti bayangan yang meninggalkan bentuknya
memecah, tertawa, kisah-kisah perang yang
dimuntahkan kembali dari ketakutannya
cermin yang menjadi buta ketika melihat
dinding di dalamnya
dan selembar rambut di atas koran pagi
air yang menyeberang di atas jembatan
melintasi sungai
melintasi tetesannya
tanpa prasangka di hadapan daun kering yang
menyimpan gema dari
hutannya


Jembatan Rempah-Rempah
Adas manis · Akar wangi · Andaliman · Asam jawa ·
Asam kandis · Bangle · Bawang bombay · Bunga la-
wang · Bawang merah · Bawang putih · Cabe · Ceng-
keh · Cendana · Damar · Daun bawang · Daun pandan
· Daun salam · Jembatan dari bumbu dapur ke darah
Colombus · Gaharu · Gambir · Jahe · Jeruk limo · Jeruk
nipis · Jeruk purut · Jintan · Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kayu mesoyi · Kecombrang · Kemenyan ·
Kemiri · Kenanga · Kencur · Kesumba · Ketumbar · Ko-
pal · Kunyit · Lada · Jembatan dari parfum ke darah
Vasco da Gama Tabasco · Laurel · Lempuyang · Leng-
kuas · Mawar · Merica · Mustar · Pala · Pandan wangi ·
Secang · Selasih · Serai · Suji · Tarum · Temu giring ·
Temu hitam · Temu kunci · Temu lawak · Temu mang-
ga · Temu putih · Temu putri · Temu rapet · Jembatan
dari obat-obatan ke benteng perempuan berkalung
mawar merah · Adas manis · Akar wangi · Andaliman ·
Asam jawa · Asam kandis · Bangle · Bunga lawang ·
Bawang putih · Cabe · Cengkeh · Cendana · Damar ·
Temu tis · Vanila · Wijen · Jembatan dari Diogo Lopes
de Mesquita ke darah Ternate · Gaharu · Gambir ·
Jahe · Jeruk nipis · Jintan · Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kemenyan · Kemiri · Kenanga · Kencur ·
Kesumba · Ketumbar · Kunyit · Lada · Jembatan api
yang terus mengirim kapal ke arsip-arsipmu.


Chanel OO
Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.
1983




Kebiasaan Kecil Makan Coklat

Aku tak suka kakimu berbunyi.”
Ini coklat, seperti cintaku padamu.”
James Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat  di situ, menyusun persahabatan dari orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo. Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan baju-baju, pita- pita pada jalinan rambut sebahu.
Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat pesta di malam hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya pada semacam kebahagiaan, seperti memasukkan seni  peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet. Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan  kecil seperti itu.
Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu di baju, cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus ia di situ, seperti dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan mengisap permen gula.
Ini coklat untukmu.
Jangan mengenang diri seperti itu.
1994



Warisan Kita
Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku, gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku, piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku, sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku, lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku, sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.
Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, pe-numbuk padiku, selimutku, baju dinginku, panci masakku, to-  piku. Bicara lagi kucing-kucingku... pisau
1989



 
Masyarakat Rosa
Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti belajar menyimpan diri sendiri. Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama Rosa.
Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang. Mahluk baru itu kian membesar jadi se-  jumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi dirimu.
Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku pula bernama Rosa. Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri dan anak-anak mereka.   Dan aku beli diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang  selalu baru.
Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami setiap kata, lalu menyebarkan berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi jari-jemarinya kemudian basah dan membiru, ketika menggenggam mikropon yang menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia menggenang: “Itu adalah Rosa, seperti menyerupai diriku.” Gelombang Rosa berhembus, turun seperti pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang menjelma jadi Rosa.
Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera  dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti me- nyebut nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan itu, kini telah bernama Rosa pula.
Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa ... dunia wanita dan lelaki   itu, mengenakan kacamata hitam. Mereka mengunyah permen  karet, turun dari layar-layar film, dan bernyanyi: seperti lagu, yang menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.
1989    


Lembu yang Berjalan
Aku bersalaman. Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota telah pergi jauh sampai ke senja. Aku bersalaman. Matahari yang bukan lagi pusat, waktu yang bukan lagi hitungan. Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri... tak ada lagi, berita manusia.
1984



Mitos-mitos Kecemasan
Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat- saat kami kesepian. Kami telah belajar membaca dan menulis    di situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini. burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota.
Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri dengan bahasa asing. O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah tak dikenal, siapakah  pengusaha besar yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.
Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang, seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi.
1985



Migrasi dari Kamar Mandi
Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain. Tetapi wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan ke- matian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Tak ada yang memberi tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana. Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu: Mereka telah melebihi diriku sendiri.
Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah revolusi setelah hari-hari kemerdekaan, di Peka-   longan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan lama dari tebu, udang dan batik. Kita minum orange juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre yang menurunkan kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku, mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.
Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggallkan dirinya sendiri. Migrasi telah kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi, yang mengirim kamar mandi ke dalam sejarah orang lain.
1993


Gadis Kita
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu keramaian pasar gadisku. Ja-  ngan buat pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku. Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning pita rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu madu, tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua dibawa hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
1985


Buku Harian dari Gurindam Duabelas
Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam.”  Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam, membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga. Tetapi seseorang mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku hingga Senggigi. 150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di    situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.
Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau  seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam  seluruh unggas. Kita saling mencari, di antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.” ... Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.
Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan, menjual beras, sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah di situ, setelah jalan berkelok.Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh suaramu melulu.
1993



Asia Membaca
Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu yang menghancurkan, dan cerita lama memanggili lagi  dari negeri lain, setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju lain. Asia. Kapal-kapal membuka  pasar, mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon berdering.
Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan.Mengantar pembisuan jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru, bendera-bendera baru, cinta yang lain  lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.
Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim burung-burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari segumpal tanah yang hilang: Tempat bahasa dilahirkan.
Asia.
1985  

No comments:

Post a Comment

Kepada Anakku

Anakku.. Seperti kata seorang pujangga Kau bukan milikku Kau adalah anak jamanmu Seperti aku adalah anak jamanku Tapi anakku.. ...