Tanaman Tahun
Satu dua orang datang satu dua orang
pergi
Pohon tumbuh sendiri, sapi berjalan
sendiri
Kemarin aku berjanji menjengukmu
Nonton bersama
Satu dua orang datang satu dua orang
pergi
Tak ada halaman lain pada tubuhmu
Waktu telah jadi bentangan kain
Potongan-potongan baju, ke Selatan
ke Utara
Jam 10 malam, toko-toko telah tutup
Satu dua orang datang satu dua orang
pergi
Siapa yang mau menunggu di sini
Orang-orang berlalu
Halaman rumah belum disapu
Semua orang datang semua orang pergi
Besok aku berjanji menjengukmu
Tanpa dirimu lagi
Di situ
1983
Karikatur 15 Menit
Karikatur 15 menit membawaku berpose, seperti raja-
raja telanjang dalam baskom. Lalu gadis-gadis 15 menit
berlengketan dalam kaleng-kaleng minum. Aku bunting
dalam percintaan ini, seperti kuda beranak dalam lemari
es. Lalu aku potret diriku jadi karikatur 15 menit. Studio
foto meledak, studio foto meledak, wanita-wanita cantik
lahir setiap 15 menit. Tak ada lagi kecantikan untuk
dipotret, karena setiap 15 menit layar diganti. Tak ada lagi
peristiwa untuk dipotret, karena setiap 15 menit orang
jadi karikatur.
Karikatur 15 menit mengubah diriku jadi menu
makanan, merek sabun mandi. Lalu dunia datang
padaku seperti kerbau goyang. Sebelum berangkat
menguap jadi gas atau busa sabun: 15 menit aku merdeka
sampai mati.
1987
Arsitektur Hotel
Hotel sepi. Hotel mati. Seekor
burung dari kamar ke
kamar, menyileti cermin. Dan
batu-batu membuat
bangku, dan batu-batu membuat pintu,
dan batu-batu
membuat tamu. Dada. Telur-telur mati
mengisi hotel. Beri
aku orang.
Hotel mengubah orang-orang datang
jadi orang-orang
pergi, menyetir mobil sendiri,
menyetel radio sendiri,
memanggil burung-burung terbang,
menghias sunyi di
setiap telur. Maka, dada, kupu-kupu
bersarang jadi
pohon mati, burung-burung terbang
jadi bukit mati. Ia
bangun manusia pecah.
Ini jam hotel. Dada. Waktu sedang
membuat sarang,
membuat telur. Setelah semua janji
dianggap tidak suci,
angin itu jadi hotel, semangka itu
jadi hotel, sapi itu jadi
hotel. Maka jendela-jendela hotel,
Dada, menunggu
semua yang pergi, menunggu semua
yang lari,
menunggu semua yang tak setuju.
Biarkan tamu-tamu datang. Dada.
Memecahkan telur
dari kamar ke kamar. Memecahkan
telur dari kamar ke
kamar.
1984
Dada
Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi
Sehari. Waktu sama sekali tak ada, Dada. Bumi
terbaring dalam tangan yang
tidur. Ingin jadi manusia
terbakar dalam mimpi sendiri.
Sehari. Semua terbaring
dalam waktu tak ada. Membaca,
Dada. Membaca kenapa
harus membaca, bagaimana harus
dibaca. Orang-orang
terbaring dalam
tubuhnya sendiri, orang-orang terbaring
dalam pikirannya sendiri. Mengaji,
Dada. Mengaji.
Keinginan jadi
manusia, menulis dan membaca di tangan
sendiri.
Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya
Sehari. Waktu tidak menanam apa-apa, Dada. Hanya
hidup, hanya hidup membaca
dirinya sendiri; seperti
anak-anak membaca, seperti
anak-anak bertanya.
Menulis, Dada. Menulis kenapa
harus menulis,
bagaimana harus
ditulis. Orang-orang menjauh dari
setiap yang
bergerak, Dada; seperti menakuti setiap yang
dibaca dan
ditulisnya sendiri. Membaca jadi mengapa
membaca, menulis
jadi mengapa menulis.
Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari.
Sehari. Aku bermimpi aku jadi manusia, Dada. Sehari.
Dada. Sehari.
1983
Orang-orang Jam 7 Pagi
Lemari makan dan atap rumah, ribut
sekali semalam.
Sisa-sisa mie goreng seperti serakan
orang bunuh diri.
Tikus mengundang teman-temannya di
situ, membuka
lemari es, membayangi selokan got
pada irisan mentega.
Tak pernah kutahu kebahagiaan dan
kesedihan mereka:
Aduh! Ribut sekali kalimat seperti
ini. Lalu sikat gigi,
suara air kamar mandi, mulai membuka
pintu dan
jendela-jendela pagi.
Selimut masih membayangi sebuah
kota, bersama
bubur ayam, mentega dalam roti, dan air mendidih di
atas kompor.
Sepatu mereka mulai berbunyi, menjauh
dari teras
rumah, bau sabun dan shampo pada rambut
basah. Suara
ribut di meja makan mulai berubah jadi asap
knalpot. Aku
adalah 3 km yang lalu dalam bis penuh
sesak,
menelusuri koridor-koridor yang menyimpan
betismu. Lalu
menghilang di balik lift. Aih! Tak ada lagi
masyarakat,
pada telepon yang kau angkat.
Jam 7 pagi aku antar tubuhku dalam
kristal-kristal
vitamin C, lembar-lembar fotocopi:
tolong cumi kering
setengah kilo; minyak goreng satu
botol; bawang putih:
siapa yang telah menyusun pagi jadi
seperti ini?
Suaranya, seperti siaran berita yang
menggebrak meja.
1995
Usaha Menjadi Ibu Rumah Tangga
Aku pulang malam sekali. Istriku
terbangun,
membukakan pintu. Ia tersenyum. “Tak
apa, kalau tak
ada siang di sini,” katanya. Aku
segera meletakkan tas.
Aku lihat matanya, sebuah
pemandangan baru saja
mendapatkan sinar. “Bisakah besok
kamu jadi ibu rumah
tangga,” katanya.
Pagi sekali aku bangun. Membereskan
seprai.
Memasak air. Memandikan anak.
Menyapu. Menyusun
pot-pot tanaman. Dan banyak urusan
lagi untuk menjadi
seorang ibu. “Telepon aku jam 12 siang.” Masakan apa?
Semuanya aku
kerjakan, seperti berjalan dari satu kota ke
kota lainnya.
Nonton film. Memetik jambu. Ada ikan dan
kelinci di
dapur, pemandangan putih ketika membuat
susu. Hingga
aku hamil, melahirkan diriku sendiri,
membesarkannya.
Dan mengerti, kenapa ia memanggil
“ibu”
kepadaku.
Aku pulang malam sekali. Istriku
terbangun,
membukakan pintu. Ia tersenyum.
“Kenapa kamu
menjadi seorang ibu seperti itu,”
katanya. Aku peluk
bahunya, seperti sebuah kamar,
dengan jendela
menghadap ke bukit.
1997
Pelajaran Bahasa Inggris tentang Berat Badan
Maaf, berapa berat badanmu? Sebentar
saja, kepalaku
satu kubik pasir. Tanganku 60 cm.
Permisi, berapa jam
berat badanmu? Bibirku tebal. Tentu,
kakiku coklat,
seperti bangunan pemerintah. Berat
badanmu
bagaimana, please. Namaku Ahmad, tolol! No, kepalaku
satu kubik pasir. Ada saluran got.
Irisan daging di
wastafel. Tunggu. Kenapa tanganmu
keras? Seperti
kekuasaan. Kamu punya kebudayaan, ya?
Wajahmu
merah. Anda suka juice tomat? Maaf. Berat badanmu
siapa? Kakiku ada di situ, tolol! Please ... please. Temani
badanku. Jangan begitu. Satu karung
pasir untuk apa?
Sorry ... di mana berat
badanmu? Maaf, jangan pegang
hidungku. Kekasihmu mana? Wortel dan
buncis sudah
direbus. Permisi, sudah mendidihkan
air itu? Bulu kucing
di matamu lucu, ya. Beautiful. Pakai saja baju batik itu.
Nanti pacarku curiga. Jangan lupa,
namaku Ahmad!
Idiiiih, masa tidak pakai sabun? Aaaaaaa,
kok kupingnya
seperti itu? Maaf, pernah melihat
berat badanku? Mau
membuat esei, ya? Tentang
kebudayaan? Analisa politik
dan ekonomi, ya. Sakit, dong,
tanganmu.
1995
Fotokopi Orang Ramai
Tak ada lagi yang merasa perlu meniru
jadi hujan,
kalau tak siapa pun perlu berbeda.
Semua yang dilihat
telah mengenakan mantel, payung, dan
sepatu
berlumpur. Segala yang besar telah
tumbuh, meniadakan
arti pada hujan yang turun.
Selalu seperti itu peristiwa berlalu
melampaui saya,
seperti menanam batu di depan pintu.
Saya antar diri
sendiri ke situ, di antara orang-orang
ramai bergerak,
mengisi dekor-dekor kota yang bukan
miliknya. Melihat
hari seperti etalase menyimpan lenganmu.
Setiap saat saya harus meyakini
kembali di situ, setiap
benda yang bergerak di sekitar saya:
Meraba dinding,
memukuli tiang listrik, dan
mendengar dentang jam
hanya untuk tahu: Di situ orang
datang menuju dirinya
sendiri, seperti menuju ke sebuah
daerah yang telah
lampau.
Saya orang ramai yang ditulis oleh
peristiwa di situ,
telah jadi bahasa yang menafsirkan
dirinya kembali,
ketika jalan raya menjemputnya
pergi.
1987
Jam Kerja Telepon
Ini bicara dengan Merlin. Saya
Merlin. Tetapi Merlin
tak ada di mana-mana. Merlin sedang
jadi bintang.
Merlin sedang jadi bintang. Saya
ciptakan orang-orang
dari obat tidur. Tetapi suaramu
parau, Merlin. Saya
menelanjangi diri sendiri, seperti
menelanjangi dunia
yang minta saya jadi Merlin.
Tetapi Merlin tak ada di mana-mana,
seperti dunia tak
ada di mana-mana, seperti orang tak
ada di mana-mana.
Merlin telah jadi pamflet dari
keinginan jadi manusia.
Tolong sambungkan saya dengan dunia
mana pun,
Merlin. Saya Merlin. Tetapi Merlin
tak ada di mana-mana.
Merlin sedang jadi bintang, mengubah
dunia jadi obat
tidur. Kau menangis, Merlin. Saya
menyaksikan orang-
orang lahir dari telepon. Mereka
memaksa saya jadi
Merlin. Mereka memaksa saya jadi
Merlin. Dan saya
meneguknya dalam putaran: Pil!
Saya mencium bau busuk dari telepon.
Saya
kehilangan kontak. Saya tercekik.
Saya bukan Merlin.
Merlin telah jadi ibu, Merlin telah
jadi ibu, dalam TV-TV
merah kuning hijau biru dan sepi.
1986
Dalam Gereja Munster
Pintu tebal gereja Munster, melepaskan
tubuhnya di
tepi Sungai Rhein, di Basel.
Tiang-tiang meninggi,
membuat malamnya sendiri.
Kursi-kursi dingin,
membuat ruangnya sendiri juga.
Bukankah telah aku
tinggalkan rasa dingin itu, di
Schilthorn, bentangan salju
di puncak-puncak air terjun,
menurunkan sebuah kota
dari gumpalan-gumpalan es. Langit
putih kelabu telah
disalibkan dalam gereja tua itu,
lenganku terguncang.
Aku tersedu, bertamu padamu.
Masih ada donat di tangannya, jari
letih ungu, dan
peta lipat menjatuhkan batu-batu. Temanku hilang
dalam kesedihan: Selamatkanlah
mereka yang bercinta,
katanya. Lalu aku sentuh, bahunya
jadi tembok sunyi
bertuliskan: “Amis raus! – Pergi orang-orang Amerika!”
dengan huruf-huruf gemetar, di
gereja St Marien. Aku
tunggu lagi dia, di stasiun bawah
tanah. Tubuhnya hotel
yang sepi, poster, dan orang-orang
bergegas ...
Kereta telah disalibkan dalam gereja
tua itu, berderak
lagi. Membawa remaja-remaja
bercumbu, dan hari esok
putih menggumpal. Aku tersedu.
Lonceng-lonceng gereja
berdentangan lagi memanggilmu.
Sejak paskah itu, aku tahu, kita tak
perlu bertemu lagi ...
Kursi telah malam. Piring telah
malam juga.
1993
Makan Malam Bersama Ama dan Ami
Ama dan Ami memesan rendang. Saya
memesan gulai
tunjang, satu gelas teh manis. Di
luar, gerimis memotret
kota Padang. Seperti kereta batubara
berjalan sendiri,
membuat lembah dari rel-rel besi dan
gerobak sapi. Tak
ada partai sosialis dan Masyumi di
sini, juga seorang
kemenakan yang hilang di kaki lima.
Edy sedang
mencukur bulu hidung waktu itu. Noni
memasak telur
dadar. Tiba-tiba dua gadis kembar
berusia 5 tahun,
mengucapkan dialog-dialog peri dari
negeri Hamlet. Ada
es krim warna-warni pada tawa lucu
Ama dan Ami,
seperti tanah air yang lain. Mereka
memang pernah jadi
peri dalam pertunjukan itu, meramal
tragedi Hamlet, dari
kekuasaan paman dan ibu. Lalu mereka
berlari-lari kembali
ke masa kanak-kanakku, yang menunggu
di depan pintu.
Waktu itu saya berusia 5 tahun, Ama
dan Ami sedang
minum susu di pasar Bukittinggi, mengumpulkan
bangkai-bangkai rumah dari Kota
Gadang: “Para
perantau itu,” kata ibuku, “seperti
rumah-rumah Minang
yang menusuk telapak kakimu.” Lalu
seekor anjing
berlari dari ujung jalan, seperti
negeri berada dalam
bahaya perang PRRI. Tahu, politik
tidak ikut campur
mengatur kamar mandi saya.
Tetapi tutup pintu itu!
Angin dingin di Padangpanjang, kabut
dalam sorotan
lampu senter, membuat Ama dan Ami
gaduh dalam masa
kanak-kanakku. Mereka memakai sepatu
ayah, memakai
topi ayah, memerankan Hamlet yang
terusir. Kamar
hotel, yang berdiri di depan
kantormu, Edy, gemetar,
memotret negeri ibu sendiri lewat siaran
radio.
1994
Jamal Menari
Jamal menari. Tangannya gemulai,
seperti bunga
dirangkai seorang gadis. Tetapi
matanya penuh pecahan
telur: “Inlander dilarang masoek,”
katanya. Ada yang
bergerombol di luar sana.
Konservatif. Tubuhnya cairan
otak dalam botol, dan semacam minyak
tanah bercampur
air. Kemudian orang-orang asing
datang, mengajar
menari. Memasang pengeras suara di
gedung-gedung
pemerintah. Tetapi ketika aku mulai
menari, menabrak-
nabrakkan tubuh pada tembok, aku
lihat pengeras suara
pecah di atas kepalamu: Aku putus
asa untuk jadi orang
asing, juga putus asa untuk jadi
inlander.
Jamal, temanku dari Madura itu,
kemudian berdoa
dengan baju tebal yang gemetar,
seperti Abu Nawas
menghadap raja: “Yang mulia, aku
terlalu lemah untuk
jadi orang asing, tetapi juga
terlalu lemah untuk jadi
inlander.”
Di tengah pesta, dari orang-orang
yang merasa dirinya
pemberontak, aku kena diare.
Tarianku jadi kacau, seperti
pengeras suara yang pecah di atas
kepalamu itu:
“Inlander dilarang masoek”. Aku
bersumpah: Dunia
konservatif sedang memakan
jantungmu.
1995
Saya Menyetrika Pakaian
Dia adalah deru kereta .... Seorang
wanita Indonesia di
Bern, membuat bahasa aneh, dari
jaket kulit dan
pembebasan visa: “Suami saya seorang
Itali. Tetapi saya
dari Gunung Kidul.” Di Sungai
Melezza, batu-batu
berkaca menghanyutkan kembali
lukisan-lukisan Bacon,
jadi bangkai-bangkai rumah Abad 20.
Rasialisme telah
tertanam dalam warna kulitku. Dia
adalah sapi dan sepeda,
di antara gereja, kafe, dan
batang-batang rel kereta.
Perkenalkan, namaku Muhamad Amin,
dari Irak. Tapi
sebuah negeri telah membuatku hidup
hanya dari wortel,
body lotion, dan paspor yang
menyimpan keresahan para
imigran. Dia adalah seorang Jerman,
yang belajar
tersenyum dari tomat-tomat yang tumbuh
di balkon.
Danke. Revolusi Iran telah
mengusirku hanya karena
teater. Lalu para seniman menolak
setrikaan di Monte
Verito. Dia adalah ... tiba-tiba
ingin jadi makhluk danau
di Ascona. Mengirim bukit-bukit
berhimpitan, tanpa
Hitler, Madonna, atau si jenggot
dari Trier: Ini tembok
untukmu, Berlin, jangan sedih.
Tetapi bank-bank telah menanam
Suisse, di antara
kantor-kantor pemerintah, seperti
bunga di kamar mandi:
Siapa yang mau bunuh diri dengan
keindahan. Wi, wi ...
mari. Dia telah membuat sebuah
negeri dari perahu
penyeberangan, di sepanjang Sungai
Rhein. Tetapi di
sebuah pesta ulang tahun, dia adalah
sejumlah pelukan
bernyanyi ... oh, my papa ... “Namaku Lili dari
Madagaskar,” dalam bahasa Perancis
yang tercekik.
1993
Kalung
dari Teman
Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah
Hari ini saya sedang bahagia. Saya duduk di sebuah
restoran
dengan seorang teman lama. Kami berusaha
saling
membagi cerita. Tapi kemudian saling tahu, kami
tetap
berada dalam kereta berbeda. Dari jendela kami
hanya
saling melongok. Kenapa tidak bisa saling berbagi
halaman?
Ada nomor teleponnya dalam kantong baju
saya,
sebuah sungai di bawah bantal. Tiba-tiba waktu
seperti
binatang buas. Taring-taring bahasa mengintai
kami
dari balik jendela.
Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan
Makanan yang kami pesan telah datang. Ada kuburan
waktu
di sana, jam 12 malam dalam tubuh saya. Siapa
yang
telah mati dengan cara begini? Pelayan restoran
meletakkan
lembaran nota di meja makan kami, tak
peduli
dengan kuburan itu. Di luar saya lihat sebuah
bangunan
baru telah berdiri lagi. Saya menggapai-gapai
dirimu,
seperti bahasa yang mengubahmu terus-
menerus.
Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis
Saya genggam tangannya, teman saya seperti gerimis
di
luar jendela. Membasahi daun-daun di halaman,
membuat
pot untuk waktu. Di luar, kereta telah berlalu,
meninggalkan
kami di peron yang sama. Tetapi matanya
seperti
ingin memanggil seluruh orang, ingin
membenarkan
dirinya tumbuh bersama waktu. Ingin
melihat
air mata kata-kata. Ingin membuat puisi dari
genggaman
lengan bayi. Melihat taring-taring bahasa
membuat
untaian kalung permata di leher kami.
Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya.
Lalu saya lihat asap putih keluar dari mulut saya.
Menjadi
api. Membakar apa saja di sekitar saya. Api itu
ikut
membakar kami berdua. Saya dan teman saya
menjadi
kalung api. Lalu pergi meninggalkan restoran
itu.
Restoran yang telah kami bakar. Api bahasa terus
berkobar-kobar,
seperti tanaman api, yang sepanjang
masa
ingin kau padamkan
1997
Kucing Berwarna Biru
Sudah tiga malam ini seekor kucing
sakit, selalu tidur
di depan pintu rumah saya. Ia
mengeluh dan mengerang.
Suaranya seperti keluar dari rumpun gelap
di halaman
rumah. Kadang seperti makhlus halus yang
sedang
membuat perjanjian dengan pohon nangka
di halaman
rumah saya. Orang bilang kucing itu kena
teluh. Saya
mencoba mengusirnya. Tetapi kucing itu
menatap saya
seperti mata ibu saya. Katanya, dirinya
adalah roh saya
sendiri yang sedang sakit. Ia mohon agar
bisa tidur
dalam kamar saya. Saya tak tega mengusir
kucing itu.
Bulu-bulunya seperti kenangan saya pada
kasih sayang.
Malam berikutnya saya mulai terganggu.
Keluhnya
berbau darah. Ia mulai menginap dalam
pikiran saya.
Setiap malam, seperti ada rumpun gelap
dalam diri saya,
menyerupai kucing yang sakit itu. Suara
gaib di depan
pintu. Setiap malam, seperti ada pohon
nangka yang
berjalan-jalan dalam tubuh saya, menyerupai
kucing
yang mengaku sebagai roh saya yang sedang
sakit itu.
Akhirnya saya membunuh kucingitu. Menjerat
lehernya
dengan tali plastik. Matanya seperti
kematian yang
mengetuk kaca jendela.
Besok pagi saya temukan mulut, telinga
dan lubang
hidung kucing itu telah mengeluarkan
tanah, berwarna
merah. Rumput-rumput tumbuh di atasnya.
Saya lihat
ikan-ikan juga telah berenang dalam perut
dan tengkorak
kepalanya. Dan seperti seluruh surat
kabar, matahari
tidak terbit pagi itu.
1997
2 X 2 Meter
Di sini ada pohon
keramat, memancarkan air. Satu-
satunya sumber air bersih
di kampung ini. Anak-anak
menangkap
ikan . . . dalam lumpur.
Besok, jam 8 malam, kami akan
membuat pertunjukan.
Tentang kota dan kampung yang padat.
Inem, Yana dan
Kunah, bekerja sebagai buruh jahit.
Cacuk menjual
bakmi. Jangan lupa selametan nanti
malam. Edy baru
lulus sarjana. Dedy tidak tinggal
lagi bersama orang tua.
Kuro tidak lagi mencari perempuan
dari desa. Besok, jam
8 malam, kami akan membuat
pertunjukan. Tentang
puskesmas di antara kubangan lumpur.
Sumbangan mesjid
dan setoran keamanan toko-toko. Ke
manakah Wardah
mereka bawa? Mulut kami seperti
massa di loteng-loteng
berhimpit. Langit dari seng dan
plastik bekas. Iwan dan
Firman sakit perut. Ada golok tumpul
di bawah bantal.
Besok, jam 8 malam, kami akan
membuat pertunjukan.
Tentang hati kami yang tak bisa
dibakar. Ketakutan telah
berhimpitan di setiap tikungan gang.
Orang-orang dari
desa terus datang ke rumah kami.
Tangga kecil dari kayu,
tempat memasuki kota. Besok, jam 8
malam, kami akan
membuat pertunjukan. Tentang
keputusan lurah. Di
kamar mandi masih ada sisa banjir,
dan iuran sampah.
Sepatu dan sandal berserak di pintu.
Bersama ibu-
ibu menggendong anak, sambil mencuci
baju-baju kotor,
sambil memasak sayur, sambil
memikirkan nasib suami,
sambil ke pasar membeli ikan asin.
Besok, jam 8 malam, kami akan
membuat pertunjukan.
Tentang hati kami yang tak bisa
digusur. Bau telur
digoreng dan bunyi kipas angin. Kota
terus melangkah,
ingin merebut kamar kami dan sisa
udara pengap. Nama-
nama kampung telah berubah dari
Tanah Sereal, Roxi,
Jelambar, dengan taksi ke Bintaro,
Pondok Indah dan
kondominium. Kisah kami tinggal 2 X
2 meter.
Jangan lupa, Sumi, Cacuk. Besok kami
akan membuat
pertunjukan, jam 8 malam. Tentang
Tini yang hatinya
terbuat dari 2 X 2 meter. Menunggu
pohon keramat.
Menunggu sumber air bersih. Kota
telah berjalan. Jauh.
Tak pernah puas. Tak pernah memberi
pemandangan lagi
untuk hatinya. Besok, jam 8 malam,
kami akan membuat
pertunjukan. Jangan lupa.
daftar indeks
dan berjalan. Dan tidur. Dan melupakan. Dan menyapu. Dan makan.
Dan mengambil jemuran. Dan memotret pernikahan orang lain di
sebuah kafe di Shanghai. Dan membaca. Dan memotong kuku. Dan
memotret kucing kawin di rumah Lely. Dan menengok kuburan
temanku di surabaya. Dan anaknya sudah kuliah. Dan anaknya men-
girim sms, siapa bapakku? Dan anaknya tidak tidur dalam kamar
ibunya. Dan namanya Dya Ginting. Dan membakar sampah. Dan
memotong rumput. Dan mengambil kantong plastik yang dibuang
orang di pinggir jalan. Dan mencium anak anjing. Dan menengok
teman yang menangis di depan laptopnya. Dan ingin hidup dalam
suara Maria Callas. Dan tak punya uang. Dan menunggu honor dari
puisi. Dan bertemu mayat Caligula dalam bahasa. Dan mandi. Dan
ingin mengatakan padamu bahwa aku sudah mengatakannya.
Antri Uang di
Bank
Seseorang datang menemui punggungku
Membicarakan sesuatu, menghitung sesuatu,
seperti kasur yang terbakar dan hanyut di sungai.
Lalu ia meletakkan batu es dalam botol mineralku
Seminar Puisi di Selat Sunda
Untuk Goenawan Mohamad
Sebuah meja malam dari
kayu, bekas puntung rokok
yang hangus di
permukaannya. Kita makan bersama.
Malam yang samar-samar di
tengah kota. Sebuah
revolusi yang berganti
kaki, di atas sebuah kapal
perang yang diparkir di
Selat Sunda. Sebuah
perundingan untuk menjemput
diri sendiri: Kaki-kaki
kanan buntung – kaki-kaki
kiri buntung. Tidak tahu,
atau berjalan atau tidak
berjalan. Tidak tahu, atau
duduk atau berdiri. Bau
belerang dari punggung
krakatau, melukis kembali
peta-peta di atas kata-kata
yang menggerutu.
Sebuah kemerdekaan tidak
dirancang dengan
berteriak: musuh sudah ada
di luar pagar, tetapi juga
sudah ada di dalam pagar.
Sebuah republik yang
terbayang di pintu
belakang. Seorang lelaki di pintu
kaca: tidak tahu, apakah ia
berjalan keluar atau
berjalan masuk. Hilir-mudik
para peneliti Indonesia
yang kurang tidur, dalam
bahasa Indonesia yang
lelah. Sebuah bank di
antara tentara-tentara
perdamaian. Aku bersamamu,
dalam satu mobil
tua, lelaki seperti pohon
nangka itu, saling menatap
tetapi tidak saling
melihat. Sebuah buku puisi,
di pangkuan seorang
perempuan.
“Di manakah kita, melihat
kata, sebagai kematian
seorang ibu.”
Sebuah pintu, entah di
belakang rumah entah di
depan rumah. Sebuah pintu
kaca untuk melihat
ke luar untuk melihat ke
dalam. Sebuah kata untuk
membungkam selogan. Seorang
Sukarnois yang me-
nyimpan kartu pos patung
liberty di saku
mantelnya. Sebuah nyanyian
cinta dari Leonard
Cohen yang parau: Dance me to the end of love.
Asap rokok tentang
pendidikan para pemimpin, di
antara korek api dan badai
sebuah pesta. Seorang
lelaki yang menggenggam
tangisnya di sudut sebuah
restoran. “Aku melangkah
dari sebuah koran lokal,
sejak masa remajaku, di
sebuah desa, antara revolusi
3 kota. Dan sebuah novel
tentang kejahatan tentara
gerilya, di halaman-halaman
yang dipasangi alarem.”
Sebuah poster pertunjukan.
Di luar atau di dalamkah
pertunjukan itu
berlangsung? Bagaimanakah Kunti
menghanyutkan anaknya? Karna, bagaimanakah,
Karna?
Bagaimanakah matahari menciptakanmu
dari anak-anak panah, dan
menjemputmu kembali
di sebuah pagi yang merah.
Bagaimanakah Caligula
membenamkan akal sehat ke
dalam keuangan
negara? Ceritakanlah sekali
lagi, Caesonia, bagaimanakah
aku menitipkan cinta dalam
pelukanmu, ketika semua
telah menjadi gila di
tangan suamimu. Kekuasaan
telah mengambil cahaya
bulan dari ladang pikiran
kita. Bagaimanakah puisi
membuat kita bisa berjalan
bersama bayangan sendiri,
melewati diri kita sendiri
yang masih tertidur di
sebuah kereta.
Seorang penjaga tiket
pertunjukan, juga seorang
penjual air bersih di
sebuah kantor majalah. Seorang
wartawan yang membidik
dengan kata. Sebuah
kamera di dasar bahasa. Dan
seorang lelaki di jen-
dela kaca. Sebuah kantor
majalah yang
kontruksinya tertanam di
abad 19, sebelum perang
dunia, sebelum menukar
rempah-rempah dengan
sebuah bangsa. Jalan gula
yang membuat jalur kereta
dari Klaten ke Amsterdam.
Lelaki itu, bayangannya
di luar dan bayangannya di
dalam. Bau tembakau
mengubah kenangan tentang
mantel yang dikena-
kannya, antara warna tanah
dan lebih kelam lagi dari
warna pasir. Warna yang
mengecat sejarah kembali
ke warna yang sama. Bau
tembakau yang menggeng-
gam kesedihan dalam sebuah
lubang pentilasi.
“Apakah aku telah
berdurhaka padamu, ibu, agar
kau tidak lagi melahirkan
seorang pembunuh.”
Udara AC jam 2 malam
mengingatkannya tentang
sebuah hutan kata-kata.
Sebuah republik di lantai
dua, bukan? Dan
pertengkaran tentang di mana letak
tangga itu untuk naik ke
lantai dua, antara musim
hujan dan perkebunan tebu
yang sudah kita bakar.
Sebuah revolusi di antara
kaki-kaki yang berganti.
Sebuah malam yang aku
sisipkan dalam buku sejarah
puisi Indonesia modern. Dingin yang tak tercatat di
halaman itu. Dan sisa-sisa cahaya bulan sebelum
gerhana. Cukup dengan 1000
slogan untuk
menggenggam kesedihan yang
menggenang di lantai
dua. Cahaya matahari pagi
bertahan di atasnya.
Untuk harapan, untuk
ibu-ibu penjual nasi bungkus
di pasar rakyat. Apakah.
Apakah materialisme sejarah
telah mati, dalam sebuah
mata kuliah psikologi
tentang kelas sosial?
Apakah. Apakah revolusi telah
dihapus, dalam sebuah kapal
dagang yang berlayar
di jalur api? Menciptakan
milisi jadi-jadian untuk
meruntuhkan daya hidup
bersama. Apakah. Tentang.
Tetapi.
Lelaki itu berdiri di atas
tangga dan turun ke lantai
bawah. Dia seperti terus
berjalan di tangga itu. Setiap
dia melangkah, anak-anak
tangga itu seperti terus
bertambah, hampir lebih
cepat dari langkahnya sendiri.
Langkah yang menciptakan
anak-anak tangga
daripada melalui anak-anak
tangga itu sendiri.
Apakah dia sedang turun –
apakah dia sedang naik.
Menambahkan waktu dalam
sebuah kereta pada
setiap langkahnya. Berikan
aku sebuah kata, untuk
tidak mengatakan apapun
tentang luka yang
tumbuh di halaman pertama
sejarah kebangsaan.
Dan tentang diriku sendiri
yang masih mencium bau
pikiran dari topi yang
pernah kau kenakan. Pikiran
yang berusaha mengubah
sebuah tangisan menjadi
gerimis, sore yang
samar-samar di antara daun-daun
yang tumbuh merambat.
Kebebasan yang dirawat
dalam sebuah perjudian
antara Duryudana dan
Yudhistira.
Aku mengenal lelaki itu. Seseorang
yang berjalan
seperti dengan suara kertas
koran yang diremas.
Suara antara puisi dan
puing-puing kata. Dia seperti
sebuah pagi, di antara kerumunan
malam yang
samar-samar. Dia ingin
menjemput kembali revolusi
itu, dengan sebauh opera
tentang kesunyian.
“Kita telah melihat,
seorang ibu membuat sebuah
luka di mulut seekor
harimau.” Untuk para sahabat,
dan sebuah kata yang tidak
bisa mengatakan: angin
yang mengirim garam,
menjaga musim hujan di
Utara. Di sini.
Menggoda Tujuh Kupu-kupu
Aku tidak berjalan dengan
mata melek. Kau pergi dengan mata
tidur. Orang di sini
membawa beban berat. Bukan soal melihat.
Dalam beban itu isinya
sampah. Bukan pergi dan tidak tidur. Kita
sibuk mencari tempat
membuang sampah itu untuk mengisinya
kembali dengan sampah. Kau
pergi dengan mata tidur. Aku tidak
berjalan dengan mata melek
dan tidak mengukur yang terlihat.
Kau latihan yoga dan
menjadi tujuh kupu-kupu. Aku melihat kau
terbang dan tidak bisa ikut
masuk ke dalam kupu-kupumu. Ke-
adaan seperti gas padat
dalam lemari es. Tetapi tidak ada ledakan.
Aku tidak mendengar suara
ledakan dalam puisi ini. Di sini hidup
menjadi mudah, karena
memang hidup sudah tidak ada. Menjadi
benar oleh
kebohongan-kebohongannya. Menjadi indah oleh
kerusakan-kerusakannya. Aku
di dalam pelukanmu dan di luar
terbangmu. Membayangkan
tujuh kupu-kupu mulai menanamkan
sayapnya dan menanamkan
terbangnya. Mengganti bumi pertama
dengan rute sungai Marne
yang membelah mimpi-mimpimu.
Di Seberang Selembar Daun
Aku bukan seluruh daun di
pohon ini. Aku hanya
selembar daun di pohon ini.
Hanya pohon ini dan
hanya selembar daun. Aku
hanya selembar daun
yang tumbuh di leherku.
Hanya berwarna hijau sep-
erti selembar daun. Aku
hanya selembar daun yang
berbicara menggunakan
mulutku. Maksudku,
mulutku adalah selembar
daun yang berbicara
menggunakan mulutku.
Maksudku, aku hanya
selembar daun yang selembar
daun. Jangan rayu aku
untuk menjadi pohon walau
kau berikan tuhan kepa-
daku. Jangan rayu aku untuk
menjadi seluruh daun
pada pohon ini walau kau
berikan janji kematian pa-
daku. Aku bukan soal
kematian dan soal tuhan. Aku
mirip, maksudku mirip
dengan pertanyaan aku hidup
bukan untuk seluruh yang
kau katakan setelah
kematian. Setelah kematian
aku bukan hidup dan ke-
matian bukan selembar daun
yang mewakili seluruh
daun di pohon ini.
Aku hanya selembar warna
hijau dari pohon yang
aku tak tahu namanya. Pohon
yang membuat aku
tahu aku berada di sini dan
hidup di sini. Maksudku,
jangan kau takuti aku
seperti kanak-kanak yang
berlari di seberang
kematian. Aku mengingatnya,
waktu-waktu, dan, lihatlah
di luar sana, lihatlah
orang-orang berjalan dengan
kakinya, pohon-pohon
tumbuh, anak-anak bermain
merasakan kebahagiaan
memiliki tawa, langit yang
dibuat dari rambut
perempuan. Aku adalah
selembar daun yang dijahit
pada sebatang pohon.
Proposal Politik Untuk
Polisi
“Toean-toean, saja mendjamin bahwa pemerintahan kita
tidak lagi popoeler, baik di antara rakjat ketjil maoepoen
pedjabat boemiputra rendahan ataoe pedjabat tinggi …
rasa tidak puas jang merebak, baik di kalangan para bang-
sawan maoepoen rakjat djelata, terhadap bagaimana tjara
pemerintah dikelola dan keadilan ditegakkan. Sedjak akhir
1900, muntjul sematjam gerakan terorisme … ataoepoen
gerakan perlawanan terhadap pemerintah. Tampaknja di
pusat birokrasi pemerintahan tidak memahami makna ini
semua.” (P.J.F. van Heutsz, 1904-06)
Aku dilanda kedatangan
diriku sendiri, di sana dan di sini. Melihat
kegagalan yang terus-terang
di setiap yang kuciptakan. Antara
mesin-mesin dan sistem
dalam lubang kesunyian, pembelian dan
penjualan yang saling
membuang. Hiburan dan barang-barang
yang dibeli di sana dan di
sini. Kenangan dalam puing-puing
perubahan. Sisa-sisa hutang
dalam peti mati tak terkunci. Pidato
musim hujan di semua
saluran keadilan yang tenggelam. Tanah
dan suara api di atas meja
makan. Kau dan aku berdiri di sini.
Tetapi tidak pernah berdiri
bersama.
Aku memotret telapak
tanganku sendiri, seperti memotret sebuah
kepulauan terbuat dari
bubur kertas. Pengeluaran terus-menerus
di sana dan di sini, lebih
panjang dari jalan yang kulalui ke depan
dan ke belakang. Suara
gesekan butir-butir beras dalam panci,
seperti data-data ekonomi
yang kehilangan mesin hitung. Hatiku
tenggelam dalam permainan
sejarah dan baju untuk masuk surga.
Laporan keuangan yang
berjalan-jalan di akhir tahun. Daya hidup
yang menjadi puing-puing
dalam perdagangan ilmu pengetahuan,
data-data di sana dan di
sini. Kesehatan yang diramalkan vitamin C
dan sikat gigi. Aku dilanda
kedatangan diriku sendiri,
untuk membeli kesunyian,
udara bersih dan lapangan
kerja.
Tuan-tuan, bisakah
kegagalan dipotret, untuk melihat
bagaimana caranya kita
tertawa dan tersenyum.
Bisakah kita memotret sikat
gigi di tengah puing-
puing daya hidup yang terus
digempur dari sana dan
dari sini. Daya hidup yang
menjadi mainan pendaya-
gunaan kekerasan. Laporan
pertumbuhan penduduk
yang menjadi api pada jam
makan malam kita.
Tuan-tuan, bisakah kita
membaca sekali lagi, dari
huruf-huruf tak bermakna.
Dan mereka menciptakan
bahasa, dari setiap
kegagalan, dari setiap sejarah luka
di sana dan di sini, dari
dansa perpisahan di malam
minggu. Berdirilah kita di
sini, seperti tanaman yang
menunggu tukang kebun.
Tidak membiarkan sebuah
kepulauan menjadi saluran
got bersama.
Tuan-tuan. Di sana dan di
sini. Musim hujan yang
telah berwarna biru di
kotamu.
Mesin Penghancur Dokumen
Ayo,
minumlah. Tidak. Saya tidak sedang es kelapa
muda. Makanlah kalau
begitu, tolonglah. Tidak. Saya
tidak sedang nasi rames.
Masuklah ke kamar mandi
saya, tolonglah kalau tidak haus, kalau tidak lapar,
kalau bosan makan.
Perkenankan aku memberikan
keramahan padamu, untuk
seluruh kerinduan yang
menghancurkan
dinding-dinding egoku. Bagaimana
aku bisa keluar kalau kamu
tidak masuk.
Kamu bisa mendengar kamar
mandiku memandikan
tata bahasa, di tangan
penggoda seorang penyiar TV.
Perkenankan aku membimbing
tanganmu. Masuk-
lah di sini yang di sana.
Masakini yang di masalalu.
Masuklah kalau kamu tak
suka tata bahasa. Tolonglah
kalau begitu, ganti bajumu
dengan bajuku. Mesin
cuci telah mencucinya
setelah aku mabuk, setelah
aku menangis, setelah aku
bunuh diri 12 menit yang
lalu. Bayangkan tubuhku
dalam baju kekosongan itu.
Tolonglah
bacakan kesedihan-kesedihanmu:
“Kemarin aku bosan, hari
ini aku bosan, besok akan
kembali lagi bosan yang
kemarin.” Apa tata bahasa
harus diubah menjadi museum
es krim supaya kamu
tidak bosan. Tolonglah. Semua yang dilakukan atas
nama bahasa, adalah topeng
api. Pasar yang
mengganti tubuhmu menjadi
mesin penghancur
dokumen. Tolonglah, aku hanya seseorang dalam
prosa-prosa seperti ini,
seorang pelancong yang
meledak dalam sebuah kamus.
Sebuah puisi murung
dalam mulut mayat seorang
penyair.
Tolonglah,
tidurkan aku dalam kesunyianmu yang
tak terjemahkan. Mesin
penghancur dokumen yang
sendirian dalam
kisah-kisahmu.
Mantel Hujan Dua Kota
Kota itu telah jadi
Semarang sejak air laut ingin
mendaki bukit, dan pesta
tahun baru di ruang dalam
bangunan-bangunan kolonial.
Minum persahabatan
dan melukis fotomu pada
dinding musim hujan.
Sepanjang malam ia
mengenakan mantel dari listrik:
kota yang mengapung 45
derajat di atas sejarah.
Dalam mantelnya, rokok
kretek dan kartu atm.
Mahasiswa bergerombol di
warung kopi, mengambil
ilmu sastra, ilmu
komunikasi, antropologi dan
jam-jam belajar dari
pecahan kaca. Akulah anak
muda yang bisa memainkan
bas elektrik, blues
dengan sisa-sisa kerusuhan
dan sisir yang patah. Aku
telah banjir di lapangan
kerja dan kenaikan gaji
pegawai negeri. Para
arsitek yang membuat desain
kota bersama air laut dan
hujan.
Biarlah aku sampai ke batas
tepi ini, untuk jejak yang
membuat lubangnya sendiri.
Kereta keluar dari mulut
stasiun Yogyakarta, bau
tembakau dari pesta seni
rupa dan sapi goreng. Aku
kembali bernapas setelah
ribuan billboard kota
adalah mataku yang terus
berputar, waktu yang
terasa perih. Rel kereta
api masih menyimpan saham-
saham VOC sampai Semarang.
Tanah keraton yang
menyimpan telur ayam,
mantel biru masih
menyanyikan keroncong
Portugis. Bau tebu, bau padi,
bata merah yang dibakar.
Aku telah Yogyakarta
setelah berhasil menjadi
orang sibuk tidak mandi 2
hari, menggunakan excel untuk agenda-agenda
padat. Dan bir dingin di
antara janji-janji.
Aku telah dua kota dalam
perjalanan dua jam
bersambung sepeda 6 jam
pagi. Biarlah aku sampai
ke batas tepi ini. Sebuah
kota yang terbuat dari jam
6 pagi, dan aku
mempercayainya seperti genta yang
berbunyi tanpa berbunyi,
bayangan gunung sebelum
biru dan sebelum kelabu dan
sebelum di sini.
Teknik Menghibur Penonton
Kebahagiaan peti mati
mengucapkan selamat tahun baru.
Maksudku, peti mati dan tahun baru.
Kata-kata melintasinya dan
jatuh seperti burung yang
ditembaki dalam mata
pelajaran biologi.
Intelektualitas yang merasa
bisa menjadi mediator
antara tubuh dan realitas,
terjungkal dari rak buku.
Maksudku terjungkal dan rak buku.
Titik dan koma tersesat
dalam perangkap titik dan koma.
Kata-kata telah ditundukkan
oleh badai kamus.
Dipisahkan lagi antara badai dan kamus.
Sebuah bossanoba di tengah
api perpustakaan.
Dipisahkan lagi antara musik dan api dalam perpustakaan.
“Tuan penghibur,” kataku,
untuk melihat rohku
di antara kumpulan harga
apartemen dan tiket
pertandingan sepak bola.
Baskom dalam timbunan
penduduk kota.
Tepuk tangan para pembuat
parfum
dan mesin pencetak dari
rumah sakit.
Thank you.
Tuan penghibur.
Thank you.
Tubuh Lublinskie di Lorong
Es Hitam
Untuk gas
Musim panas berjalan-jalan
di luar bajumu.
Dari seluruh warna merah
yang dipadatkan.
Baju dengan jahitan tentang
ketakutan
dan kesedihan. Lorong es
hitam pelarian Yahudi
di Grodzka, jadi jalan
turis.
Musim panas yang masih
menjahit gerimis,
setiap jendela cuaca
dibukan dan ditutup.
Tidak tentang yang terkunci
di luar atau di dalam.
Tentang bibirmu
meninggalkan biji cengkeh
di lidahku.
Membisikkan puisi-puisi
Wislawa Szymborska,
dengan tas koper terus
memunguti bayangan kita
di belakang. Tidak
memisahkan kalimat dengan koma,
setelah masa lalu dan masa
kini.
Kita meminjam sayap burung
untuk tidak
berbahasa lagi seperti
manusia.
Terbang.
Seperti dalam ruang di luar
suhu kematian.
Seperti matahari menawarkan
ilusi tentang bayangan,
dan sebuah bis yang membawa
malam ke Warsawa.
Malam yang terus direnovasi
dalam lampu-lampu
kota yang sedih.
Menggeser musim panas ke
tangga menuju
kastil-kastil kesunyian,
kafe-kafe yang
menyembunyikan teriakan
dari tenggorokan terluka.
Mata lelaki dalam kantong
plastik
mulai berkerumun di taman
kota.
Pelayan kafe membawa menu
sejarah,
secangkir kopi dan ice
cream tentang kita.
Lukisan sejarah perang dan
kunci besi
di Museum Lublinskie.
Kita berjalan di sebuah
kota yang telah menjadi
selembar menu makanan.
Deru pesawat dan kereta
masih merenovasi pelukan
kita, antara passport, peta
perjalanan dan gereja-
gereja tua. Aku tidak tahu
lagi bedanya antara
memeluk dan bersujud memuja
kesedihanmu.
Di tas koperku masih peti
mati yang meminta visa
untuk kebebasan bernapas.
Sayangku, tidur tidak bisa
mengecat mimpi kita.
Lublin telah menjadi piano
kesunyian di luar malam.
Workshop 5: Tawanan Aku
gema suaranya kembali lagi
membuat dinding bunyi
dari suaranya
berdiri melingkar
di depan bulatan penuh
perangkap waktu
jari-jari yang menggenggam
tikus
dan perangkapnya di
belakang membuat makan malam
seperti bayangan yang
meninggalkan bentuknya
memecah, tertawa,
kisah-kisah perang yang
dimuntahkan kembali dari
ketakutannya
cermin yang menjadi buta
ketika melihat
dinding di dalamnya
dan selembar rambut di atas
koran pagi
air yang menyeberang di
atas jembatan
melintasi sungai
melintasi tetesannya
tanpa prasangka di hadapan
daun kering yang
menyimpan gema dari
hutannya
Jembatan Rempah-Rempah
Adas manis · Akar wangi ·
Andaliman · Asam jawa ·
Asam kandis · Bangle ·
Bawang bombay · Bunga la-
wang · Bawang merah ·
Bawang putih · Cabe · Ceng-
keh · Cendana · Damar ·
Daun bawang · Daun pandan
· Daun salam · Jembatan
dari bumbu dapur ke darah
Colombus · Gaharu · Gambir
· Jahe · Jeruk limo · Jeruk
nipis · Jeruk purut ·
Jintan · Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kayu mesoyi ·
Kecombrang · Kemenyan ·
Kemiri · Kenanga · Kencur ·
Kesumba · Ketumbar · Ko-
pal · Kunyit · Lada ·
Jembatan dari parfum ke darah
Vasco da Gama Tabasco ·
Laurel · Lempuyang · Leng-
kuas · Mawar · Merica ·
Mustar · Pala · Pandan wangi ·
Secang · Selasih · Serai ·
Suji · Tarum · Temu giring ·
Temu hitam · Temu kunci ·
Temu lawak · Temu mang-
ga · Temu putih · Temu
putri · Temu rapet · Jembatan
dari obat-obatan ke benteng
perempuan berkalung
mawar merah · Adas manis ·
Akar wangi · Andaliman ·
Asam jawa · Asam kandis ·
Bangle · Bunga lawang ·
Bawang putih · Cabe ·
Cengkeh · Cendana · Damar ·
Temu tis · Vanila · Wijen ·
Jembatan dari Diogo Lopes
de Mesquita ke darah
Ternate · Gaharu · Gambir ·
Jahe · Jeruk nipis · Jintan
· Kapulaga · Kayu manis ·
Kayu putih · Kemenyan ·
Kemiri · Kenanga · Kencur ·
Kesumba · Ketumbar · Kunyit
· Lada · Jembatan api
yang terus mengirim kapal
ke arsip-arsipmu.
Chanel OO
Permisi,
saya sedang bunuh diri sebentar,
Bunga dan bensin di halaman
Teruslah mengaji,
dalam televisi berwarna itu,
dada.
1983
Kebiasaan Kecil Makan Coklat
“Aku tak suka kakimu berbunyi.”
“Ini coklat, seperti cintaku padamu.”
James Saunders membuat drama dari kereta dan permen coklat di situ, menyusun persahabatan dari
orang-orang yang tak bisa saling menemani: Kita adalah kegugupan bersama, sejak
berusaha mencari arti lewat permen coklat, dan kutu pada lipatan baju. Jangan
menyusun flu di situ, seperti menyusun jendela kereta dari dialog-dialog Romeo.
Tetapi Suyatna ingin menemani sebuah dunia, sebuah pentas, dengan dekor dan
baju-baju, pita- pita pada jalinan rambut sebahu.
Tak ada stasiun kereta pada kerut keningmu, seperti kegelisahan membuat
pesta di malam hari. Lihat di luar sana, orang masih percaya pada semacam
kebahagiaan, seperti memasukkan seni
peran dalam tas koper. Tetapi kenapa kau tinggalkan dirimu dalam toilet.
Jangan ledakkan sapu tanganmu, dari kebiasaan
kecil seperti itu.
Aih, biarlah kaki itu terus berbunyi, makan coklat terus berlalu, kutu-kutu
di baju, cinta yang penuh kegugupan ditonton orang. Tetapi jangan simpan terus
ia di situ, seperti dewa-dewa berdebu dalam koper, berusaha memberi arti dengan
mengisap permen gula.
Ini coklat untukmu.
Jangan mengenang diri seperti itu.
1994
Warisan
Kita
Bicara lagi kambingku, pisauku, ladangku, komporku, rumahku, payungku,
gergajiku, empang ikanku, genting kacaku, emberku, geretan gasku. Bicara lagi
cerminku, kampakku, meja makanku, alat-alat tulisku, gelas minumku, album foto
keluargaku, ayam-ayamku, lumbung berasku, ani-aniku.
Bicara lagi suara nenek-moyangku, linggisku, kambingku, kitab-kitabku,
piring makanku, pompa airku, paluku, paculku, gudangku, sangkar burungku,
sepedaku, bunga-bungaku, talang airku, ranjang tidurku. Bicara lagi kerbauku,
lampu senterku, para kerabat-tetanggaku, guntingku, pahatku, lemariku, gerobakku,
sandal jepitku, penyerut kayuku, ani-aniku.
Bicara lagi kursi tamuku, penggorenganku, tembakauku, pe-numbuk padiku,
selimutku, baju dinginku, panci masakku, to-
piku. Bicara lagi kucing-kucingku... pisau
1989
Masyarakat
Rosa
Dari manakah aku belajar jadi seseorang yang tidak aku kenal, seperti
belajar menyimpan diri sendiri. Dan seperti usiamu kini, mereka mulai mengira
dan meyakini orang banyak, bahwa aku bernama Rosa.
Tetapi Rosa hanyalah penyanyi dangdut, yang menghisap keyakinan baru
setelah memiliki kartu nama. Di situ Rosa menjelma, dimiliki setiap orang.
Mahluk baru itu kian membesar jadi se-
jumlah pabrik, hotel, dan lintasan kabel-kabel telpon. Rosa membuat aku
menggigil saat mendendangkan sebuah lagu, menghisap siapa pun yang
mendengarnya. Rosa membesar jadi sebuah dunia, seperti Rosa mengecil jadi
dirimu.
Ayahku bernama Rosa pula, ibuku bernama Rosa pula, seperti para kekasihku
pula bernama Rosa. Mereka memanggilku pula sebagai Rosa, seperti memanggil diri
dan anak-anak mereka. Dan aku beli
diriku setiap saat, agar aku jadi seseorang yang selalu baru.
Rosa berhembus dari gaun biru dan rambut basah, dari bibir yang memahami
setiap kata, lalu menyebarkan berlembar-lembar cermin jadi Rosa. Tetapi
jari-jemarinya kemudian basah dan membiru, ketika menggenggam mikropon yang
menghisap dirinya. Di depan layar televisi, ia menggenang: “Itu adalah Rosa,
seperti menyerupai diriku.” Gelombang Rosa berhembus, turun seperti
pecahan-pecahan kaca. Rosa menjelma jadi lelaki di situ, seperti perempuan yang
menjelma jadi Rosa.
Rosa, tontonlah aku. Rosa tidak akan pernah ada tanpa kamera dan fotocopy. Tetapi kemudian Rosa berbicara
mengenai kemanusiaan, nasionalisme, keadilan dan kemakmuran, seperti me- nyebut
nama-nama jalan dari sebuah kota yang telah melahirkannya. Semua nama-nama jalan
itu, kini telah bernama Rosa pula.
Hujan kemudian turun bersama Rosa, mengucuri tubuh sendiri. Orang-orang
bernama Rosa, menepi saling memperbanyak diri. Mereka bertatapan: Rosa ...
dunia wanita dan lelaki itu, mengenakan
kacamata hitam. Mereka mengunyah permen
karet, turun dari layar-layar film, dan bernyanyi: seperti lagu, yang
menyimpan suaramu dalam mikropon pecah itu.
1989
Lembu
yang Berjalan
Aku bersalaman. Burung berita telah terbang memeluk sayapnya sendiri. Kota
telah pergi jauh sampai ke senja. Aku bersalaman. Matahari yang bukan lagi
pusat, waktu yang bukan lagi hitungan. Angin telah pergi, tidak lagi ucapkan
kotamu, tak lagi ucapkan namamu. Aku bersalaman. Mengecup pesawat TV sendiri...
tak ada lagi, berita manusia.
1984
Mitos-mitos
Kecemasan
Kota kami dijaga mitos-mitos kecemasan. Senjata jadi kenangan tersendiri di
hati kami, yang akan kembali membuat cerita, saat- saat kami kesepian. Kami
telah belajar membaca dan menulis di
situ. Tetapi kami sering mengalami kebutaan, saat merambahi hari-hari gelap
gulita. Lalu kami berdoa, seluruh kerbau bergoyang menggetarkan tanah ini.
burung-burung beterbangan memburu langit, mengarak gunung-gunung keliling kota.
Negeri kami menunggu hotel-hotel bergerak membelah waktu, mengucap diri
dengan bahasa asing. O, impian yang sedang membagi diri dengan daerah-daerah
tak dikenal, siapakah pengusaha besar
yang memborong tanah ini. Kami ingin tahu di mana anak-anak kami dilebur jadi
bensin. Jalan-jalan bergetar, membuat kota-kota baru sepanjang hari.
Radio menyampaikan suara-suara ganjil di situ, dari kecemasan menggenang,
seperti tak ada, yang bisa disapa lagi esok pagi.
1985
Migrasi
dari Kamar Mandi
Kita lihat Sartre malam itu, lewat Pintu
Tertutup: menawarkan manusia mati dalam sejarah orang lain. Tetapi
wajah-wajah Dunia Ketiga yang memerankannya, masih merasa heran dengan ke-
matian dalam pikiran: “Neraka adalah orang-orang lain.” Tak ada yang memberi
tahu di situ, bagaimana masa lalu berjalan, memposisikan mereka di sudut sana.
Lalu aku kutip butir-butir kacang dari atas pangkuanmu: Mereka telah melebihi
diriku sendiri.
Wajahmu penuh cerita malam itu, menyempatkan aku mengingat juga: sebuah
revolusi setelah hari-hari kemerdekaan, di Peka- longan, Tegal, Brebes; yang mengubah tatanan
lama dari tebu, udang dan batik. Kita minum orange
juice tanpa masa lalu di situ, di bawah tatapan Sartre yang menurunkan
kapak, rantai penyiksa, alat-alat pembakar bahasa. Tetapi mikropon meraihku,
mengumumkan migrasi berbahaya, dari kamar mandi ke jalan-jalan tak terduga.
Di Ciledug, Sidoarjo, Denpasar, orang-orang berbenah meninggallkan dirinya
sendiri. Migrasi telah kehilangan waktu, kekasihku. Dan aku sibuk mencari lenganmu
di situ, dari rotasi-rotasi yang hilang, dari sebuah puisi, yang mengirim kamar
mandi ke dalam sejarah orang lain.
1993
Gadis
Kita
O gadisku ke mana gadisku. Kau telah pergi ke kota lipstik gadisku. Kau
pergi ke kota parfum gadisku. Aku silau tubuhmu kemilau neon gadisku. Tubuhmu
keramaian pasar gadisku. Ja- ngan buat
pantai sepanjang bibirmu merah gadisku. Nanti engkau dibawa laut, nanti engkau
dibawa sabun. Jangan tempel tanda-tanda jalan pada lalulintas dadamu gadisku.
Nanti polisi marah. Nanti polisi marah. Nanti kucing menggigit kuning pita
rambutmu. Jangan mau tubuhmu adalah plastik warna-warni gadisku. Tubuhmu madu,
tubuhmu candu. Nanti kita semua tidak punya tuhan, nanti kita semua dibawa
hantu gadisku. Kita semua cinta padamu. Kita semua cinta padamu. Jangan terbang
terlalu jauh ke pita-pita rambutmu gadisku, ke renda-renda bajumu, ke nyaring
bunyi sepatumu. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati. Nanti ibu kita mati.
1985
Buku
Harian dari Gurindam Duabelas
Kau telah ambil lenganku dari sungai Siak, sebelum Raja Ali Haji berkata: Bismillah permulaan kalam.” Dan kapal-kapal bergerak membawa Islam,
membawa para nabi, sutra, barang-barang elektronik juga. Tetapi seseorang
mencarimu hingga Piz Gloria, kubah-kubah putih yang mengirimku hingga Senggigi.
150 tahun kematian Friedrich Holderlin, jadi penyair lagi di situ, hanya untuk menjaga cinta. Gerimis
membawa kota-kota lain lagi, tanaman palma dan kenangan di jendela: Siti
berlari-lari, menyapu halaman jadi buah mangga, apel, dan kecapi juga.
Kini dia bukan lagi kisah batu-batu, pelarian tempo dulu, atau seorang biu mengajar menyapu. Kini setiap
tubhnya membaca Gurindam Duabelas, mengirim buku harian, untuk masa silam seluruh unggas. Kita saling mencari, di
antara pikiran yang dicurigai, lebih dari letusan, menumbangkan sebuah bahasa
di malam hari. “Puan-puan dan Tuan-tuan,” kata Siti,”aku melayu dari Pejanggi.”
... Dan sungai Siak jadi sepi, jadi lebih dalam lagi dari Gurindam Duabelas.
Lenganmu, membuat bahasa lain lagi di situ; untuk orang-orang di pelabuhan,
menjual beras, sayuran, radio, ikan-ikan juga. Dan aku berlari-lari. Ada rumah
di situ, setelah jalan berkelok.Ini untukmu, bahasa dari letusan itu, penuh
suaramu melulu.
1993
Asia
Membaca
Matahari telah berlepasan dari dekor-dekornya. Tapi kami masih hadapi
langit yang sama, tanah yang sama. Asia. Setelah dewa-dewa pergi, jadi batu
dalam pesawat-pesawat TV; setelah waktu-waktu yang menghancurkan, dan cerita
lama memanggili lagi dari negeri lain,
setiap kata jadi berbau bensin di situ. Dan kami terurai lagi lewat baju-baju
lain. Asia. Kapal-kapal membuka pasar,
mengganti naga dan lembu dengan minyak bumi. Membawa kami ke depan telpon
berdering.
Di situ kami meranggas, dalam taruhan berbagai kekuatan.Mengantar pembisuan
jadi jalan-jalan di malam hari. Asia. Lalu kami masuki dekor-dekor baru,
bendera-bendera baru, cinta yang lain
lagi, mendapatkan hari yang melebihi waktu: Membaca yang tak boleh
dibaca, menulis yang tak boleh ditulis.
Tanah berkaca-kaca di situ, mencium bau manusia, menyimpan kami dari segala
jaman. Asia. Kami pahami lagi debur laut, tempat para leluhur mengirim
burung-burung, mencipta kata. Asia hanya ditemui, seperti malam-malam mencari
segumpal tanah yang hilang: Tempat
bahasa dilahirkan.
Asia.
1985
No comments:
Post a Comment