Pastoral
Kabut yang mengepungmu
Telah runtuh menjadi kata-kata
Rumah kayu hanya menyisakan dinginnya
Dan sunyi mengendap di sana
Maut bukanlah kabut yang mengendap-endap
Tapi salju
Yang berloncatan bagai waktu
Dan menyumbat pernapasanmu
Beranjaklah dan jangan menengok
Ingin kusaksikan tubuhmu telanjang
Tanpa mantel keyakinan
Menjauh dan semakin menjauh
Kubah mesjid dan runcing menara katedral
Tenggelam di balik perbukitan
Senja mengental dalam gelas kopiku
Dan kureguk sebagai puisi yang pahit
Beranjaklah dan jangan menangis
Obor malam akan mengantarmu pergi
Melintasi jalan kesabaran
Menerobos hutan
Maut bukanlah kata-kata
Tapi doa
Yang memancar bagai cahaya sorga
Dan membakarku tiba-tiba
1991
Rue De Rivoli
Kita melaju dalam rintik gerimis
Yang menghapus semua alamat
Dari ingatanku. Udara seperti berombak
Sungai memantulkan gema
Napasmu gemetar
Di ranting-ranting poplar
Jembatan itu mengangakan rahang
Menelan musim
Yang meluncurkan perahu
Dalam cuaca dingin. Senja menjadi ajaib
Di tengah kebisuanmu
Dan redupnya angin
Ke sudut-sudut kafe
Tak ada yang perlu dilabuhkan
Kecuali jejak matahari. Sementara kau dan aku
Mungkin tak akan merubah arah sunyi
Dengan mencari kehangatan
Pada gelas atau ciuman
Cemara Laut
Buat D. Zawawi Imron
Langit semerah saga
Membayang pada pasir pantai
Ketika rumpun-rumpun cemara
Menjadi pertapa
Di pantai terlarang
Ketika bongkahan karang hitam
Tak lekang
Tapi juga tak kekal
Cemara menyimpan warna bulan
Di rumpun-rumpunnya yang rimbun
Seperti ingin menciptakan hutan lambang
Tapi keheningan tak lahir begitu saja
Dari ombak pasang
Keheningan harus dituliskan
Pada pasir
Atau lokan kerontang
Perahu-perahu telah bertiup
Meninggalkan perkampungan garam
Mereka akan terus bertiup
Ke tengah
Meninggalkan para pertapa yang khusyuk
Dan bongkahan karang hitam
Di tebing-tebing
Pantai curam
Para pertapa
Bongkahan karang yang bersila
Adalah keheningan
Yang surut dan kadang meluap
Seperti ombak atau waktu
Akar-akarnya mengembara
Jauh ke tubuh bumi
Menyusuri urat darah tanah
Akar-akarnya
Airmata yang terus memanjang
Berliku-liku dan kembali merambat naik
Mengirimkan kesedihan pada batang dan daun
Akar-akarnya adalah doa
Yang menjadi embun
Dilepaskan ujung-ujung daun
Ke udara
1996
Sacre Coeur
Lewat pasar yang riuh
Lewat deretan panjang kaki lima
Lewat tangga yang disandarkan
Ke bukit. Aku merasa tak akan sampai
Ke puncak menara Sacre Coeur
Aku pun diam
Aku pun terpaku
Menghitung detak waktu
Yang disirami butir-butir salju
Di lereng bukit itu
Pada ranting-ranting pohon linden
Kulukiskan raut wajahmu
Yang runcing namun bertenaga
Lalu kusimpan sebuah nama
Di bawah judul sajak
Tentang cinta
Yang belum selesai kutuliskan
Angin mendengung dan burung-burung
Tak bisa berlindung
Dari dingin. Menara menjulang
Dan udara yang basah
Terasa menekan
Seperti ada yang tersembunyi
Dari balik mantel bulumu
Yang tebal. Salju berhamburan
Dari rambutmu yang ikal
Harum restoran
Tercium dari napasmu
Suaramu bergelombang di udara
Kakimu menginjak awan
Yang berkilauan dan penuh pahatan
Aku merasa tak akan sampai
Ke puncak menara Sacre Coeur
1997
Lagu Bulan April
Sebuah kolam adalah kekekalan
Dengan akar-akar bakung yang khusyuk
Serta bunga-bunganya yang mekar di udara sejuk
Serumpun gelagah dan rumputan liar di tepian
Pagar-pagar batang kayu dan sebuah jalan menurun
Yang curam. Kulihat mulut lembah itu seperti kehausan
Suara burung-burung dan musik dari gesekan daun-daun
Melengkapi wajah langit biru muda yang berkilauan
Seperti goresan lembut cat air –
Sebuah kolam dengan sekelompok angsa yang riang
Tapi matamu lebih sunyi dari riak air kolam mana pun
Tanganmu masih bergayut di dahan-dahan pohon palma
Dua buah pir hijau muda kini matang di dadamu
Sebatang sungai jernih penuh batuan
Nampak bergerak ke lembah yang kehausan cahaya
Dari bukit-bukit di atas nampan besar semesta ini
Kata-katamu sudah tak perlu diucapkan mulut lagi
Kesunyian telah menjelma huruf-huruf yang dibaca angin
Dikhabarkan ke seluruh penjuru dan halaman buku
Di sini setiap cemara mempunyai lilin paskahnya sendiri
Sedang gereja-gereja semakin merampingkan diri
Dengan menara-menaranya yang runcing –
Dari senyumanmu sebatang sungai lain membasahi kota-kota
Seperti lagu gembala bagi domba-domba padang pasir
Sebuah kolam adalah kekekalan merah muda
Tapi matamu lebih dalam dari seribu pengakuan dosa
Di bahumu bunga-bunga bakung menjalin rambut ikalnya
Bunga-bunga tulip tersenyum malu di ceruk pipimu
Jauh di seberang ladang-ladang gandum, sebuah mata air jernih
Dengan roda airnya yang terus bergerak laksana waktu
Nampak mengalir ke dalam matamu yang tak beriak itu
Semuanya, seperti cahaya langit musim semi yang megah
Kolam anggur tak habis-habisnya direguk bumi dahaga –
Rambutmu lebih halus dari puisi atau lukisan mana pun
Seperti anugerah bagi hamparan negeri yang penuh ciuman ini
Sebuah kolam adalah kekekalan
Dengan akar-akar bakung yang khusyuk
Serta bunga-bunganya yang mekar di udara sejuk
Serumpun gelagah dan rumputan liar di tepian
Pagar-pagar batang kayu dan sebuah jalan menurun
Yang curam. Kulihat mulut lembah itu seperti kehausan
Suara burung-burung dan musik dari gesekan daun-daun
Melengkapi wajah langit biru muda yang berkilauan
Seperti goresan lembut cat air –
Sebuah kolam dengan sekelompok angsa yang riang
Tapi matamu lebih sunyi dari riak air kolam mana pun
Tanganmu masih bergayut di dahan-dahan pohon palma
Dua buah pir hijau muda kini matang di dadamu
Sebatang sungai jernih penuh batuan
Nampak bergerak ke lembah yang kehausan cahaya
Dari bukit-bukit di atas nampan besar semesta ini
Kata-katamu sudah tak perlu diucapkan mulut lagi
Kesunyian telah menjelma huruf-huruf yang dibaca angin
Dikhabarkan ke seluruh penjuru dan halaman buku
Di sini setiap cemara mempunyai lilin paskahnya sendiri
Sedang gereja-gereja semakin merampingkan diri
Dengan menara-menaranya yang runcing –
Dari senyumanmu sebatang sungai lain membasahi kota-kota
Seperti lagu gembala bagi domba-domba padang pasir
Sebuah kolam adalah kekekalan merah muda
Tapi matamu lebih dalam dari seribu pengakuan dosa
Di bahumu bunga-bunga bakung menjalin rambut ikalnya
Bunga-bunga tulip tersenyum malu di ceruk pipimu
Jauh di seberang ladang-ladang gandum, sebuah mata air jernih
Dengan roda airnya yang terus bergerak laksana waktu
Nampak mengalir ke dalam matamu yang tak beriak itu
Semuanya, seperti cahaya langit musim semi yang megah
Kolam anggur tak habis-habisnya direguk bumi dahaga –
Rambutmu lebih halus dari puisi atau lukisan mana pun
Seperti anugerah bagi hamparan negeri yang penuh ciuman ini
1992
Menjumpaimu
Menjumpaimu di sebuah kota
Seperti menemui kenyataan dunia ini
Kota itu tak bernama, gedung-gedungnya sangat tua
Dan musik menggenang sepanjang jalan-jalannya yang sunyi
Aku tersentak dan menemukan isyarat-isyarat:
Wajahmu memenuhi setiap celah dan sudut kelam
Tapi daun-daun rontok dan senja menguning seketika
Sebuah lagu yang kukenal mengalun dan ingatanku terpotong
Di tengah-tengahnya. Kulihat anak-anak muda itu masih berciuman
Orang-orang tua menuntun anjing keliling taman
Musim gugur telah membukakan seluruh ruang dalam dirimu
Kembali aku menemukan isyarat-isyarat:
Lukisan-lukisan pudar sepanjang dinding kota
Tiang-tiang besar yang menyimpan ceruk dan gaung
Adalah pergulatan waktu dengan kesunyiannya
Lalu kita sama-sama terpejam dan menunggu datangnya ledakan
Bibirmu asin seperti darah sedang kuku-kuku tanganmu menancap
Di pundakku. Musik terus mengalir dari sejumlah bar di kota itu
Dan kulihat cahaya menggeliatkan ular-ularnya di sana
Seorang wanita berambut merah meronta-ronta
Di trotoar botol-botol pecah seperti kata-kata
Aku meraba-raba detik dan jam yang lambat
Pada tanganmu kurasakan denyut nadi ribuan pengungsi
Keringat para buruh kasar sekaligus semerbak parfum
Bintang-bintang film. Dari ketiak serta mulutmu yang mekar
Kembali aku mencium kenyataan dunia ini:
Alkohol keemasan memenuhi mata dan kepalamu
Pikiranmu tersangkut pada bentangan kawat listrik
Dengan rambut yang terus memanjang ke laut
Seperti hantu. Di kejauhan seorang pemimpin berpidato
Monumen-monumen ratusan tahun terbakar
Sebuah ledakan menjadikan kita serdadu liar lagi
Kita menyusuri puing-puing dan kuburan baru
Pada malam penuh salak anjing dan ringkik kuda itu
Isyarat-isyarat lain tak dapat kutolak
Nanah busuk meleleh dari pelipismu yang retak
Lalu kedua lenganmu berjatuhan ke tanah
Seperti pelepah. Bunyi-bunyian aneh tak lagi terdengar
Hanya gemeretak mulut kita yang saling mengunyah
Aku terus mengikutimu dan berpegangan pada birahi rambutmu
Sebuah keindahan sejati yang kupahami kemudian:
Awal dari kemelut dunia kita yang tak berkesudahan
1992-1993
Pasar Kumbasari, Denpasar
Mungkin bukan sinar bulan
Yang menyalakan permukaan sungai
Tapi di sepanjang jalan ke arah pasar
Bakul-bakul ikan, daging dan sayuran
Seperti mengekalkan malam. Pasar adalah gemuruh
Sekaligus semadi suara-suara
Kulihat yang berjualan itu mulai menari
Kuli-kuli itu mulai menyanyi
Semuanya perempuan –
Dingin menyerap keringat mereka
Menjadi berbotol-botol arak
Di sini setiap perempuan adalah lelaki
Bekerja adalah sembahyang dan menari
Bersama mereka kupanggul bakul-bakul itu
Sambil menyuling keringatku sendiri
Menjadi tenaga kata-kata
Kuminum arak bercampur dingin embun
Lalu kuminta sinar bulan
Melemparkan selendang kuningnya padaku
Di antara mereka aku menari-nari gila
Memuja sulur-sulur pohon dan tugu-tugu batu
Kasmaran menunggu fajar tiba
Upacara demi upacara telah kulalui
Sepanjang perjalananku melupakan diri sendiri
Bersama sayuran dan bunga-bunga sesaji
Daging babi, ikan laut, kemenyan dan pakaian warna-warni
Aku menjadi bagian dari gemuruhnya pasar
Sekaligus keheningan semadi –
Pelahan keringatku meneteskan kata-kata
Kata-kataku menjelma butiran garam
Membumbui tanah dan sungai
Tempat perempuan-perempuan perkasa itu
Menyelesaikan tarian dan kewajibannya
Sebagai manusia biasa
Mungkin bukan sinar bulan
Yang menyalakan permukaan sungai
Tapi di sepanjang jalan ke arah pasar
Bakul-bakul ikan, daging dan sayuran
Seperti mengekalkan malam. Pasar adalah gemuruh
Sekaligus semadi suara-suara
Kulihat yang berjualan itu mulai menari
Kuli-kuli itu mulai menyanyi
Semuanya perempuan –
Dingin menyerap keringat mereka
Menjadi berbotol-botol arak
Di sini setiap perempuan adalah lelaki
Bekerja adalah sembahyang dan menari
Bersama mereka kupanggul bakul-bakul itu
Sambil menyuling keringatku sendiri
Menjadi tenaga kata-kata
Kuminum arak bercampur dingin embun
Lalu kuminta sinar bulan
Melemparkan selendang kuningnya padaku
Di antara mereka aku menari-nari gila
Memuja sulur-sulur pohon dan tugu-tugu batu
Kasmaran menunggu fajar tiba
Upacara demi upacara telah kulalui
Sepanjang perjalananku melupakan diri sendiri
Bersama sayuran dan bunga-bunga sesaji
Daging babi, ikan laut, kemenyan dan pakaian warna-warni
Aku menjadi bagian dari gemuruhnya pasar
Sekaligus keheningan semadi –
Pelahan keringatku meneteskan kata-kata
Kata-kataku menjelma butiran garam
Membumbui tanah dan sungai
Tempat perempuan-perempuan perkasa itu
Menyelesaikan tarian dan kewajibannya
Sebagai manusia biasa
1995
Via Enrico Dal Pozzo, Perugia
Gentong musim dingin mengguyurkan anggur
Untuk kita reguk lagi malam ini
Kau tahu, anggur selalu membuat kita mabuk
Tapi cahaya bulan yang menerobos ketebalan kabut
Seperti ingin menjelaskan betapa dingin di luar
Jika harus kita tempuh tanpa anggur dan mantel tebal
Ada banyak malam yang telah menyeret kita
Menuruni lereng-lereng basah dan rahasia
Kita membangun jembatan dengan seratus ciuman
Yang berulang. Tapi runtuh juga
Lalu kita menggali perigi untuk kenangan
Tapi seperti sungai, airmata tak bisa disimpan
Kau tahu, cahaya bulan seperti ingin menjelaskan
Bahwa antara kedua alis matamu yang licin
Ada jurang yang semakin menganga
Mungkin jembatan itu tak akan pernah tercipta
Dari bahasa. Tapi guyuran anggur musim dingin
Membuat kita tak peduli lagi pada kata-kata
Gentong musim dingin mengguyurkan anggur
Untuk kita reguk lagi malam ini
Kau tahu, anggur selalu membuat kita mabuk
Tapi cahaya bulan yang menerobos ketebalan kabut
Seperti ingin menjelaskan betapa dingin di luar
Jika harus kita tempuh tanpa anggur dan mantel tebal
Ada banyak malam yang telah menyeret kita
Menuruni lereng-lereng basah dan rahasia
Kita membangun jembatan dengan seratus ciuman
Yang berulang. Tapi runtuh juga
Lalu kita menggali perigi untuk kenangan
Tapi seperti sungai, airmata tak bisa disimpan
Kau tahu, cahaya bulan seperti ingin menjelaskan
Bahwa antara kedua alis matamu yang licin
Ada jurang yang semakin menganga
Mungkin jembatan itu tak akan pernah tercipta
Dari bahasa. Tapi guyuran anggur musim dingin
Membuat kita tak peduli lagi pada kata-kata
1992
Fontana Maggiore
Tiba-tiba tubuhmu penuh hujan
Seperti patung di tengah air mancur itu
Dan waktu menjadi pohon yang ditinggalkan daun-daun
Aku ingat sebatang lilin di tengah laut malam hari
Di sini pun cahaya memperlebar wilayah kelamnya
Hingga kita bersudutan dengan tajam
Dalam keremangan yang mengeras
Kebisuan menjadi bahasa
Antara undakan-undakan dan detik-detik
Yang menggenang. Bunyi gitar terdengar nyaring
Tapi segera dipatahkan angin yang runcing
Wajah pengamen itu menjadi pucat dan keperakan
Di tengah deretan hari-hari yang menyusut
Dan mengembun pada patung-patung
Di dinding kasar nampak bayang-bayangmu
Yang bergerak-gerak tanpa lakon
Dan orang-orang masih berjalan dengan anjing
Atau anak-anak mereka yang menggigil
Kulihat lehermu menghijau seperti tembaga
Tapi segera mulut cahaya menyerapnya
Ke dalam lampu-lampu
Tubuhmu menyusut dan menjadi percikan air
Kekekalan memenuhi seluruh kolam
Kunang-kunang terbang, menjauh dan menghilang
Adalah pikiranmu yang masih terpatah-patah –
Di taman-taman lain yang lebih remang
Kulihat jurang-jurang yang digali cahaya
Seluruh hujan diterjunkan ke sana
1992
Di Atas Umbria
Rambut-rambut cahaya
Yang dikibarkan angin musim panas
Seperti melukisi wajah langit
Dengan garis-garis keperakan siang hari
Di udara sebuah lonceng berayun-ayun
Bunyinya mendekati sunyi. Seekor kuda melompat
Rumput-rumput tegak pada maut yang tak nampak
Lalu cahaya tiarap sepanjang perbukitan
Metahari meletakkan sumbunya di atas batu
Sayur-mayur mekar dalam cahaya. Kusentuh kibaran
rambutmu
Dan kulihat jurang di kedalaman matamu:
Seorang wanita telanjang di bawah matahari
Dengan kaki yang menjulur ke tengah danau
Kukenang pantai-pantai tropika yang jauh
Juga wanita-wanitanya yang hijau kekuningan
Seperti mangga. Kubayangkan air segar kelapa muda
Lalu aku pun telentang di bawah matahari
Telanjang dalam tatapanmu yang berduri:
Di sini setiap pohon membuahkan kata-kata
Setiap buah adalah kebajikan sekaligus dosa besar
Aku tak tahu bagaimana kautanam kata-katamu di tanah
Dan menjelma petuah. Sementara tubuhmu yang pualam
Bersahutan dengan tiang-tiang beton, bentangan kawat listrik
Serta jalan aspal yang hitam dan berkilat di kejauhan
Kulihat kereta api merayapi waktu pada jalurnya yang pasti
Terowongan-terowongan muncul dari setiap penjuru
Seekor kuda putih
Suara gaib yang berayun-ayun di udara itu
Adalah patung dewa yang pecah. Aku menanam tanganku
Leherku memanjang serta pikiranku bertaburan di lading
Kuperas darahku dan kusuling racunnya yang murni
Kemabukan adalah jalan yang menanjak di bumi:
Sambil merangkak di antara botol-botol yang menjulang
Kudendangkan mantra-mantra suciku pada alam raya
Sayur-mayur menyala dalam sentuhanku
Tanah keras menjadi gembur serta penuh birahi
Lalu sebagaimana mahluk-mahluk kiasan lainnya
Kau membakarku dengan kebenaran sesaat
Bunga api dipancarkan payudaramu yang meledak
1993
Di Museum Vincent Van Gogh, Amsterdam
Di ranjang yang kusam kau menggeraikan
Rambut ilalangmu. Dingin yang setajam kelewang
Mengendus harum gandung tubuhmu dan mengurapi
Bulu-bulu halus pada inci demi inci geliatmu
Yang tak sekuning lukisan itu
Di ranjang yang kusam kau membaringkan
Harum gandummu. Ruh yang sengungun lampu
Merabuki udara yang memar dan menyentuh pelan
Setiap gelembung napas yang bergantungan
Pada langit-langit merah kamarmu.
1996
LAGU
IBUNDA
yang melambai dari semesta jiwa
kekasih puteri derita
yang memanggil tanpa daya
yang menyerahkan kasih
tanpa kata-kata
yang menaburkan setia
yang menanam cinta
dari rahimnya
yang melahirkan tunas kehidupan
yang menyodorkan dunia
melepaskanku menggembala
yang membekali dengan doa
1981
DALAM
KEASINGAN YANG LINDAP
dalam keasingan yang lindap, aku rindu
ingat pandangmu, hening, menyapu trotoar berdebu
menikamku, pening, hasrat yang kembali tersedu
dalam kegamangan yang hinggap, kau tahu
aku rindu bisikmu, bening, menggoyangkan sang waktu
melenakanku, angin, melayang, menderu
1981
NASIB
(kepada
Diro Aritonang)
harus kita apakan hidup
terlanjur masuk
1981
NYANYIAN
Aku siap
Melayani hidup ini
Asalkan Engkau bantu
Terima-kasih, Tuhan
Bahwa aku masih bisa mengingatMu
Biarpun kelu
Untuk bernyanyi dengan merdu
Tapi ini jemari
Belum bosan memetik dawai gitar
Yang Engkau sodorkan kepadaku
Dan dengan suara parau
Aku mencoba mendendangkan kehidupan
Aku juga siap
Menjalani mati nanti
Tapi beri aku waktu berbenah diri
Terima-kasih, Tuhan
Bahwa aku masih bisa bersujud di kakiMu
Bahwa aku masih bisa bersujud di kakiMu
1980
KITA
HANYA BERHADAPAN
(buat
H)
matamu masih berbinar meskipun hari berangkat malam
sedang gelap bagaikan kelambu tua yang berjuntaian
kita masih bertatapan meskipun dalam diam
sedang gerak hanyalah rambutmu yang memainkan
matamu masih menatapku
dan mataku masih lekat menatapmu
kita hanya berpandangan saja
meskipun waktu lewat berabad-abad
kita hanya berhadapan, bertahan
di depan adalah Tuhan
kita hanya bersatu pandang
tak pernah bersatu-tubuh!
perempuanku, matamu menelanjangiku
dan mataku kini menelanjangimu
anak-anak kita adalah sepi yang senantiasa berjaga
di sekeliling ranjang kita
1981
PENJARA
aku ngembara
keluar masuk sepi
sepiku sepimu
yang fana
aku ngembara
keluar masuk hati
hatiku hatimu
yang sunyi
dalam penjara gelap
aku tersesat!
keluar masuk sepi
keluar masuk hati
ke manakah jalan
ke Matahari?
ke Diri?
1981
RINDU
yang nyala dalam jiwa
kemudi dalam hidup
yang melambai dalam sesat
pelita dalam gelap
yang wangiMu semerbak
kucium dalam sajak
1981
KOLAM
sewaktu berkaca di air bening kedamainan
di kolam jiwamu yang tenang dan sepi gelombang
kulihat betapa kumuhku, rupa debu di jalan
terbakar dan menggeliat
kulihat wajahku bukan lagi wajahku
kulihat sebuah komposisi yang rumit dan berbelit
dengan garis-garis liar, warna-warna kusam
bertumpuk dan berjejalan
sewaktu aku berdiri menatapmu, kekasihku
kulihat di matamu sebuah kolam kesalihan jiwa
aku ingin sejenak berteduh dari kehidupanku yang mendera
mencuci semua luka
dan belajar mencintai
1981
SEMBAHYANG
MALAM
Antara gelap dan terang
Cahaya gemerlap dan lampu yang lelap
Padamkan saja!
Kamar ini biarkan jadi malam seterusnya
Untuk pertemuan
Pertemuan antara Kau dan aku
Antara aku dan Kekasihku
Gelap!
Lelap!
Dalam sujud malam ini
Kita berpeluk dalam kerinduan
Tubuhku menggigil dan gemetaran
Kekasihku, tidurkah aku mimpikah aku?
Dekatlah selalu di sampingku
Mana tanganMu?
Tolong rabalah ini luka-lukaku
Dekatlah selalu dan dekaplah erat-erat aku!
Dalam gelap dalam syahdu malam begini
Cinta-KasihMu menyala di ini hati
1980
TERNYATA
AKU YANG TERDAMPAR ITU
Ternyata aku yang terdampar itu
Lantaran menyerah, tak bisa menjawab
Pertanyaan-pertanyaan yang seakan siap menerkamku
Yang siap memburu dan mengusirku
Aku terengah
Terseok sepanjang emper-emper trotoar
Sepanjang gang, kehidupan berserak bagai kardus
Aku lelah, kantukku semakin berat saja
Semakin tak kuasa kakiku menyeret langkah
Tak kuasa lagi berlama-lama
Ingin segera menghadapMu, bermuka-muka
Membeberkan derita, luka demi luka dan putus-asa
Aku ingin segera pergi tidur, rindu
Tapi Tuhan
Di manakah aku bisa segera menemuiMu
Sepanjang jalan hanya debu yang mengepul
Deru kendaraan dan lalu lalang orang-orang
Sepanjang gang, rel kereta dan kampung yang padat
Terjepit dalam bis kota, bau keringat
Dan desakan para penumpang kini semakin menidurkanku
Semakin melenakanku
Ternyata akulah yang terdampar itu!
Dengan borok penuh lalat-lalat
Ternyata akulah yang kalah itu, sebagai Adam
Yang terkucil, tersesat dan terlempar dari sorgaMu
1981
KELUH
I
dari dasar jurang
kupandang Cakrawala
betapa jauh!
ini hati sungsang
kusandang seharian
betapa keluh!
II
dari kegelapan
tak bisa kupandang apa dan siapa
selain selaput mataku
dan dari balik itu
kukagumi kebesaranMu
betapa terbatasnya aku
betapa terbatasnya waktu
III
dari keterbatasan
jarak semakin mendekatkanku
jarak semakin mendekatkanku
kepadaMu
1981
AKU
MENCINTAI-MU, KEKASIH
TAMPARLAH
MUKAKU!
aku mencintai-Mu. Janganlah pergi
jangan tinggalkan aku sendiri
di belantara ini
jangan pergi. Jangan perjelas sepi
tak sanggup lagi aku Kauperdaya
aku tak bisa berbuat apa-apa
tak bisa berkata-kata. Jangan menjauh
aku takut melangkahkan kaki
terlalu banyak jalan bersimpangan di sini
aku bego. Tamparlah mukaku
tunjukkan padaku sebuah tempat
di mana seharusnya aku mesti Kaududukkan
aku tak tahu. Di mana seharusnya aku
mesti menempatkan diri
dan di mana seharusnya aku mesti berdiri
aku mencintaiMu. Janganlah pergi
jangan tinggalkan aku sendiri
hutan ini sangatlah mengerikan dan sepi
aku takut, takut melihat ke depan
takut menoleh ke belakang
takut diam
tamparlah mukaku, Kekasih
lemparkan aku ke sebuah tempat
di mana seharusnya aku mesti berbaring
sungguh tak tahu, Kekasih
bagaimana mungkin aku sampai ke sebuah Rumah
tanpa Kau yang menunjukkannya
1980
MENGAPA
SELALU KUTULIS SAJAK
Mengapa selalu kutulis sajak
Apabila kerinduan tiba-tiba menyerbuku
Mengapa harus sajak, Tuhanku, mengapa harus ia
Yang mampu kupersembahkan kepadaMu
Seandainya ini sebuah tugas
Maka aku terima ia sebagai tugas
Akan kujalani sampai nanti nyawaku terlepas
Seandainya ini sebuah sembahyang
Maka akan kuusir segala bayangan yang datang
Yang selalu mencoba mengaburkanMu
Mengapa selalu sajak yang kutulis itu
Apabila pertanyaan-pertanyaan datang menyerbuku
Selalu sajak, Tuhanku, mengapa selalu ia
Yang mampu kuberondongkan kepadaMu
Atau barangkali karena aku tahu
Engkaulah Penyair itu
Yang begitu mempesonaku
Yang telah membelenggu hidup dan matiku
Dengan segala keasinganMu
1981
KUHITUNG
DETAK JAM
kuhitung detak jam
berlari
sedang kata-kata belum juga menepi
menetak harap
kuusung ke pusat hari
kenapa kenang
diam-diam mampirkan sangsi
kenapa sepi
padaku seakan menagih janji
sedang kata-kata belum juga menepi
sedang kata-kata belum juga bisa kuakhiri
1981
KEPADA
RIA SOEMARTA
menggapai tepi cakrawala
menggoretkan namamu di udara
melepaskan hari senja
ketika bintang-bintang memasang nyala
sepi semesta jiwaku
meniti perjalanan puisi
hari-hari yang lusuh
jatuh bersama keringat di tubuh
kata-kata tanpa makna ini:
untukmu hidupku terbuka
1981
SAJAK
HARI KELAHIRAN
(Catatan
28 Pebruari)
Kota pun jadi basah
Lantai pun jadi bersih
Hari ini
Adalah duapuluh tahun silam
Akukah Adam?
Sementara letih ini terduduk
Angin merunduk
Sesaat memandang cemas
Langkah-langkah lama yang bergegas
Langkah-langkah dulu yang pernah mengejar
Yang merangkak sepanjang duka dan gemetar
Ketika dingin ini mengusir, pelahan
Hujan sepanjang jalan
Akukah Acep?
Berjalan lewat usia, dari rindu ke rindu
Dan menunggu, setia menunggu
Sebelum sampai ajalku
Sebelum selesai seluruh waktu
1980
BANDUNG
I
Aku menggelinding
Hanya debu
Tertiup dari sudut ke sudut
Terseret-seret irama kota yang riuh
Hanya debu aku
Melayang-layang, lalu jatuh, lalu luluh
Lalu turun hujan menggemuruh
Aku kuyup!
Hanya debu, sekedar debu
Dikibas kendaraan lalu
Dan deru anginMu
II
Aku menggeliat
Matahari tenggelam
Selamat malam!
Kesenyapan dan kegelapan
Tubuhku pecah, tubuhku bongkah-bongkah
Dalam perang brubuh
Aku dikocok-kocok kegaduhan kotaku
Yang redam dan geram
Aku dibanting-banting, dibentur-bentur
Pada dinding-dinding lingkunganku
Diguyur hujan yang lebat
Sia-sia melawan
Sia-sia jadi Pahlawan
III
Tak kutemui kamu
Tak kutemukan jua aku
Hanya debu, hanya debu
Menitahkan hidupku
Di manakah kamu
Di manakah jua aku
Hanya debu, hanya debu
Setiap waktu angin menderu
Setiap waktu aku lupa padaMu
1981
SANUR
berdesingan angin pantai
dan buncah ombak
dalam dadaku
kapankah aku sampai
dalam bisu pesona
semesta jiwa
o, cakrawala jauh
inilah deru rinduku
kepadaMu
1981
Tulisan pada Tembok
Buat Padwa Tuqan
Semuanya belum juga menepi.
Kapal-kapal di samudera
Pesawat-pesawat di udara,
panser-panser di jalanan
Di medan-medan pertikaian. Dan
abad-abad yang bergulir
Tahun-tahun yang mengalir,
musim-musim yang anyir
Entah kapan berakhir. “Dilarang
kencing!” seekor anjing
Menyalak pada dunia. Langit
nampak masih membara
Hujan bom di mana-mana.
Terdengar tangis bayi
Jerit para pengungsi. Tak
henti-henti –
Bukankah seratus Hadiah Nobel
telah diobral
Dan seribu perundingan digelar?
Tapi di manakah
Perdamaian? Masih adakah
perdamaian itu? Semuanya
Belum mau menepi, belum mau
melabuhkan diri
Lalu kapan menepi? Kapan akan melabuhkan
diri? Kapal-kapal
Kehilangan pelabuhan,
pesawat-pesawat kehilangan landasan
Panser-panser kehilangan
terminal. Peluru-peluru berdesingan
Berita-berita berhamburan,
pidato-pidato tak terbendung
Maklumat-maklumat, fatwa-fatwa,
slogan-slogan
Konferensi-konferensi,
seminar-seminar
Meledakkan udara. Membakar
seluruh cakrawala
Tapi kekuasaan terus berderap
seperti sepatu
Seperti langkah waktu.
Kekuasaan semakin menderu
“Dilarang kencing di sini,
bangsat!” seekor anjing
Kembali menyalak pada tembok-tembok
kota
Yang sering dikencingi polisi
dan tentara
Menyerap Tinta di
Lautan
Akulah si miskin yang kaya
Dadaku berkilauan bukan oleh permata
Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta
Padaku. Kini aku menyeret langkah ke segala penjuru
Dan menulis puisi di sudut-sudut malam
Di antara kesempitan bumi dan keluasan langit
Aku terus menggeliat dan menari
Sedih dan riangku menjadi tarian di udara
Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari
Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu abadi
Beribu penyair telah menyerap tinta di lautan
Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan
Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran
Memenuhi udara dengan bau keringat pengembara
Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam
Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu
Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi
Hingga gairahku menyala dan berkobar kembali
Siang dan malam akan terus berulang, seperti berulangnya
Hidup dan mati. Lihatlah, tidak ada lagi mahkota di kepalaku
Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:
Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan
Lalu bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cinta
Akulah si miskin yang kaya
Dadaku berkilauan bukan oleh permata
Sebab cinta telah disodorkan kemurahan semesta
Padaku. Kini aku menyeret langkah ke segala penjuru
Dan menulis puisi di sudut-sudut malam
Di antara kesempitan bumi dan keluasan langit
Aku terus menggeliat dan menari
Sedih dan riangku menjadi tarian di udara
Lihatlah, langkahku berderap menyongsong matahari
Menempuh bukit demi bukit sepanjang rahasiamu abadi
Beribu penyair telah menyerap tinta di lautan
Pohon-pohon bergerak menuliskan kerinduan
Lihatlah, kain kafanku terus berkibaran
Memenuhi udara dengan bau keringat pengembara
Meskipun hatiku telah dilumuri lumpur hitam
Aku tahu cahaya masih akan terbit dari tatapan matamu
Setiap pagi. Kemudian kaubakar segala yang ada di bumi
Hingga gairahku menyala dan berkobar kembali
Siang dan malam akan terus berulang, seperti berulangnya
Hidup dan mati. Lihatlah, tidak ada lagi mahkota di kepalaku
Kemegahan hanya menganugerahiku sebatang pena:
Aku ingin menghabiskan semua tinta di lautan
Lalu bergerak bersama pohon-pohon menuliskan cinta
Surat Cinta
Ini musim gugur, minumlah anggur
Denting gitar
Terdengar dari belahan dunia yang hancur
Sambutlah gerimis, kelembutan akan mengurapi
Tanah-tanahmu yang mati. Langit tinggal lengkung
Kabut bergulung-gulung
Rauplah daun-daun yang jatuh, bunga-bunga yang luruh
Bayi-bayi yang terbunuh. Melewati tahun demi tahun
Melintasi abad dan milenium yang ngungun
Hiruplah genangan darah busuk, tumpukan tubuh hangus
Kepulan asap mesiu. Pertempuran demi pertempuran
Akan mendewasakan hidupmu
Arungi luas lautan, terjuni gelap hutan
Selami lubuk bumi. Kelaparan demi kelaparan
Akan membuat hari-harimu lebih berarti
Ini musim gugur, cintaku, ini bahasa sunyi
Denting piano
Sayup-sayup dari reruntuhan waktu
Ini musim gugur, minumlah anggur
Denting gitar
Terdengar dari belahan dunia yang hancur
Sambutlah gerimis, kelembutan akan mengurapi
Tanah-tanahmu yang mati. Langit tinggal lengkung
Kabut bergulung-gulung
Rauplah daun-daun yang jatuh, bunga-bunga yang luruh
Bayi-bayi yang terbunuh. Melewati tahun demi tahun
Melintasi abad dan milenium yang ngungun
Hiruplah genangan darah busuk, tumpukan tubuh hangus
Kepulan asap mesiu. Pertempuran demi pertempuran
Akan mendewasakan hidupmu
Arungi luas lautan, terjuni gelap hutan
Selami lubuk bumi. Kelaparan demi kelaparan
Akan membuat hari-harimu lebih berarti
Ini musim gugur, cintaku, ini bahasa sunyi
Denting piano
Sayup-sayup dari reruntuhan waktu
Makati
Cahaya berpendaran dalam
kepungan dentang lonceng
Yang berulang. Kusaksikan
langit mulai beranjak tua
Ketika raung ambulan di jalan
raya tak kunjung menjauh
Dari telinga. Kususuri detik,
kurayapi menit demi menit
Kuhitung napas yang berjatuhan
seperti rintik gerimis
Orang-orang masih bergegas,
hari-hari masih akan lewat lagi
Tahun-tahun terus berganti,
abad-abad datang dan pergi
Kubayangkan maut singgah di
trotoar, duduk dan batuk-batuk
Bunyi lonceng membuat langit
semakin renta dan entah kenapa
Aku merasa seperti telah
kehilangan begitu banyak peristiwa
Romantic Agony
Ciumanmu melontarkanku ke dasar
sunyi
Dan kembali kusyukuri nikmat
kejatuhanku
Di bumi. Sinar bulan kuinjak
dalam debu
Kegelapanlah yang kusongsong
sebagai harapan baru
Ketika pohon-pohon hitam
berbaris mengurungku
Langit merah padam siap
menimpaku di segala penjuru
Aku bicara sebagai bangkai dan
serigala-serigala
Mengerti ucapanku. Kujabat
tangan sungai yang deras
Dan kubiarkan salam-salamku
hanyut oleh gelombang
Kini pakaianku kesabaran yang
sobek, keikhlasan
Yang koyak. Aku bersujud
mencari lumpur yang wangi
Sambil mengenakan ciumanmu dan
kepedihanku
Menggali dan menimbun kuburan
waktu
Manila Bay, Senja
Kau membawaku pada puncak gelombang
Dan gelombang membakarku dengan sepinya
Sebelum gelap turun, masih kubaca sisa topan
Napasmu seakan bisikan yang jauh, seakan
Sekarat langit yang panjang
Keperihanmu adalah borok bumi yang kekal
Dan kau menuntunku pada pusat nyerinya
Sebelum ajal tiba, kupuja eranganmu dengan cinta
Kepalsuan dan dusta yang sama. Darahku tumpah lagi
Lautan tetaplah garam yang menyirami luka
Kau membawaku pada puncak gelombang
Dan gelombang membakarku dengan sepinya
Sebelum gelap turun, masih kubaca sisa topan
Napasmu seakan bisikan yang jauh, seakan
Sekarat langit yang panjang
Keperihanmu adalah borok bumi yang kekal
Dan kau menuntunku pada pusat nyerinya
Sebelum ajal tiba, kupuja eranganmu dengan cinta
Kepalsuan dan dusta yang sama. Darahku tumpah lagi
Lautan tetaplah garam yang menyirami luka
Le Poete Maudit
Buat Saini K.M.
Mengurung diri dalam tungku
Dibakar cinta dan rindu
Api memercik dari setiap tetes
darah
Tubuhku yang luka. Dan iman pun
menyala
Di tengah hamparan gurun tak
bernama
Pasir-pasir hanyut
Dalam sujudku. Batu-batu
Tumpah
Mataku buta oleh tangis seratus
tahun
Pada puncak tiang salib
Gairahku menari. Gerobak
sejarah
Lewat
Menyeret Sodom dan Gomorah
Kata-kata mengalir
Dari setiap desah napas
Tahajudku. Dan iman pun membara
Mengobarkan pertempuran tanpa
akhir:
Kematian melahirkanku kembali,
mengulangku
Berkali-kali
Nokturno
Untukmu kunyanyikan lagu
rinduku malam ini
Dengan musik yang tenang
kulayari gelombang pasang
Kau tahu, betapa hening bunyi
yang diciptakannya
Berdenting, mengetuk-ngetuk
lantai dan dinding
Betapa nyaring! Betapa runcing
percik-percik airnya
Untuk kunyanyikan lagu rinduku
malam ini
Dengan penuh kekhusyukan kudaki
nada-nada tinggi
Lalu menukik ke dalam semadi,
menyelam ke lubuk sepi
Kau tahu, kekasihku, rindu
adalah napas syair-syairku
Ialah gitar yang kugaruki
sepanjang waktu
Ialah musik improvisasi, yang
iramanya berasal dari lubuk hati
Ialah samudera luas, yang
ikan-ikan serta camar-camarnya liar
Ialah deru angin sakal, yang
menghantam layar dan buritan
Ialah gemuruh biru, yang
gemanya bersahutan dalam dadaku
Yang menggedor-gedor dinding
beku. Aku cinta padamu
Lagu Pejalan Larut
Ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Duapuluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan
“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”
Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
Tungku-tungku menyalakan senja. Duapuluh tiga tahun
Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!
“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”
Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Duapuluh tiga tahun aku dibakar matahari, digarami
Keringat bumi. Ingin kembali, ingin kembali
Mengairi sawah dan perasaan, menabur benih-benih ketulusan
“Pejalan larut, di manakah kampungmu?”
Langit membara sepanjang padang-padang
Sabana. Pondok-pondok membukakan pintu dan jendela
Tungku-tungku menyalakan senja. Duapuluh tiga tahun
Aku memburu utara, mengejar selatan, tersesat di barat
Dan kehilangan timur. Beri aku cangkul! Beri aku kerbau!
“Pejalan larut, berapa usiamu sekarang?”
Ingin kembali, ingin kembali mencium rumputan
Bau tanah sehabis hujan, jejak-jejak pagi di pematang
Nb. Versi blog: Tungku-tungku menyalakan waktu
Kutukan
Setelah melewati sekian keterluntaan, kau datang
Dengan kalimat-kalimat panjang, senyum yang dipaksakan
Kau datang padaku dengan sajak-sajak yang ditulis
Sebagai persembahan. Tapi sajak adalah kutukan bagiku
Di mana ruang menjadi jurang, dan aku harus melompat
Menyongsong lahirnya pengucapan baru
Betapa tersiksa membaca sajak-sajakmu yang sayup
Dengan sisa kesadaranku yang semakin redup
Kulihat lampu-lampu padam, seperti langkah olengmu
Yang tenggelam dalam pedihnya penciptaan:
Sekian kutukan, di mana keterluntaan kau dan aku
Menjadi bagian dari kemurungan zaman demi zaman
In Memoriam Kriapur
Sepucuk surat yang penuh catatan sunyi
Dikirimkan kemurunganmu dengan sampul jingga
Aku membacanya sambil minum darah bulan
Yang dituangkan langsung dari lukanya di langit
Sejenak aku mabuk dan menari-nari
Menangisi bumi yang terus dikhianati
Sedikit kegembiraan kusisakan untuk kupu-kupu
Yang menandai jejakmu dalam sepi. Di kamarku
Lampu teramat redup untuk jadi petunjuk
Bintang-bintang menyisih ke balik selimut
Dan tenggelam dalam kerumunan mimpi anak-anak –
Aku genggam suratmu dan kubaca fajar yang tiba
Seberkas cahaya seperti menyemburkan kata-kata
Yang membuka sungai lain buat airmata
Pejalan Buta
Telah kulempar tongkatku pada jeram
Dan kubuang semua perbekalan. Ingin kuhayati sunyi
Sambil mendengar semua yang dibisikkan langit
Mencatat setiap jerit bumi yang sakit
Tanpa perahu aku berlayar karena lautan luas
Adalah hatiku. Pantai-pantai berebut ingin menjemputku
Tapi aku mengelak sambil menari-nari di udara
Kelenturan telah diwariskan burung padaku dan belut
Menjadi kelicinanku. Meskipun ditumbuhi pohonan liar
Telingaku terbuka untuk kata-kata yang diucapkan diam
Tanpa tongkat aku terus berjalan, mengembara
Seperti si buta yang merambah dunia bukan dengan matanya
Zikir
Aku mengapung
Ringan
Meninggi
padamu. Bagai kapas menari-nari
Dalam angin
Jumpalitan
bagai ikan
Bagai lidah api
Bau busuk
mulutku, Anne
Seratus tahun
memanggi-manggil
Namamu
Inilah zikirku:
Lelehan aspal
kealpaanku, cairan timah
Kekeliruanku,
gemuruh mesin keliaranku
Tumpukan sampah
keterpurukanku
Selokan mampat
kesia-siaanku
Aku tak tidur
padahal ngantuk, tak makan
Padahal lapar,
tak minum padahal haus
Tak menangis
padahal sedih, tak berobat
Padahal luka,
tak bunuh diri
Padahal patah
hati
Anne! Anne!
Anne!
Zikirku seribu
sepi menombakmu
Menembus
lapisan langitmu, membongkar
Gumpalan
megamu, membakar pusaran
Kabutmu,
menghanguskan jarak
Ruang dan waktu
Aku mencair
Bagai air
Mengalir
padamu. Bagai hujan
Tumpah ke bumi
Menggelinding
bagai batu
Bagai hantu
Anne! Anne!
Anne!
Inilah rentetan
tembakan kerinduanku, lemparan
Granat
ketakutanku, dentuman meriam kemabukanku
Luapan minyak
kegairahanku, kobaran tungku kecintaanku
Semburan asap
kepunahanku
Aku tak
mengemis padahal miskin, tak mencuri
Padahal
terdesak, tak merampok padahal banyak utang
Tak menipu
padahal ada kesempatan, tak menuntut
Padahal punya
hak, tak memaksa
Padahal putus
asa
Anne! Anne!
Anne!
Zikirku seribu
sunyi mengejarmu
Menggedor
barikade pertahananmu, menerobos
Dinding
persembunyianmu, mengobrak-abrik ruang
Semadimu,
menghancurkan singgasana
Kekhusyukanmu
Bau busuk
mulutku, Anne
Seratus tahun
memanggil-manggil
Namamu
Di Ujung Dago
Sunyi
mengalunkan lagu
Pun
segala jemu. Semilir angin mengurapi rabu
Ketika
langkahku kehilangan tuju
Di
antara pohon-pohon dan udara beku
Kabut
mempersempit ruang
Memadatkan
waktu. Kenapa aku
Kenapa
masih menunggu
Kenapa
masih percaya padamu
Sedang
ruang
Tak
mengenal waktu
Sedang
waktu tak mengenal ruang
Ruang
dan waktu tak mengenal rindu
Di Bawah
Matahari Kramat Raya
Dalam
bising jalanan dan teriknya matahari siang
Di
antara sejuta teriakan dan gemuruhnya kendaraan
Orang-orang
berseliweran, bergegas dan berlari
Sibuk
berebut dan berlomba
Mengapa
aku hanya diam, kekasihku
Merasakan
angin dan debu menampar mukaku
Mengapa
aku hanya berdiri menatapmu dengan kelu
Membiarkan
matahari membakar tubuh dan jiwaku
Dalam
sibuk dan suntuknya hari-hari pergulatan
Di
antara sejuta keluhan dan gemuruhnya keserakahan
Orang-orang
berjuang dan saling menerkam
Mengapa
aku hanya diam saja, kekasihku
Menyaksikan
kemenangan-kemenangan yang menggelikan
Juga
kekalahan-kekalahan yang tak lagi mengharukan
Mengapa
aku hanya termangu melihat semua ini
Tanpa
terlibat atau turut ambil bagian
Mengapa
aku selalu menghindar dari keramaian
Mengapa
aku seperti kehilangan keinginan
Mengapa
aku enggan meneruskan kehidupan
Mengapa
aku malas berebut dan berlomba
Mengapa
aku muak pada cita-cita dunia
Mengapa
aku benci terbitnya matahari
Mengapa
aku hanya ingin diam dan sendiri
Tenggelam
dalam sepimu yang abadi
Lanskap
Ketika
lembar hari luruh
Kabutmu
jatuh
Mengaca
di bukit-bukit jauh
Gerimis
yang turun
Firmanmu
yang ngungun
Kudengar
lembut mengalun
Ketika
lembar hari mengaduh
Dan
jiwa luluh. Kulihat cakrawala
Demikian
dekat kita
Dalam
bicara
Demikian
dekat kita, serupa Musa
Pada
tepian kata dan ambang makna
Kalimat-kalimat
yang terbit
Membersit
di langit
Demikian
dekat kita:
Demikian
berat
Hidup
hanya memburu keasingan
Diburu
kegamangan dari belakang
Lirik (2)
Kereta
itu melintas pelan di hadapanku
Menaburkan
bunga-bunga ungu
Kuhirup
kuntum demi kuntum karena tak tahu
Siapa
mesti kucium. Stasiun hanya menunggu
Di
deretan bangku masih tersimpan senyap dan seribu
Alamat.
Tapi kereta terakhir telah lewat
Mengurungkan
kiamat
Mungkin
aku telah menjemputmu
Mungkin
juga telah kehilangan jejakmu
Tapi
kenapa rel begitu dingin dan kabut tak juga luruh
Di
kejauhan kudengar lengking panjang azan subuh
Lirik (3)
Aku
tidur memeluk perahu
Memimpikanmu
melayarkan bintang-bintang
Ke
haribaanku. Gelombang
Airmata
yang mengalir dalam doa-doaku
Aku
mencatat semua yang dibisikkan angin
Membaca
semua yang disampaikan dingin padaku
Menyerap
cahaya bulan hingga lubuk dini hari:
Betapa
cepat kuda ajal merebut semua jalanku di bumi
Lautan
kembali menyalakan kaki langit
Engkaulah
cahaya pagi yang senantiasa terbit
Aku
memeluk perahu. Waktu
Menghanyutkan
lembar demi lembar usiaku
Airmataku
Lilin
Airmataku
lilin
Setelah
khusyuk berdoa
Lebur
menjadi puisi. Ingin melintasi gurun
Atau
mendirikan kemah di ujung bumi
Tapi
cahayaku tinggal lentik sepi
Tak
terdengar oleh musim manapun
Dan
waktu tak mau mencatatnya
Airmataku
lilin yang menulis
Pada
lembar-lembar angin
Di
udara kunang-kunang bertaburan
Bintang-bintang
menyapaku dengan kerlipnya
Tapi
aku bukan penyair yang ingin dipahami
Biarlah
bahasaku menjadi ketiadaan
Dan
matiku bukanlah bunuh diri
No comments:
Post a Comment